Asumsi
Dalam Penamaan musyrif & Musyrifah
Pada Ma’had Al ‘Aly Sunan Ampel
Oleh : Mabruri bin Marzuki Al Qomry
Sangat disayangkan, begitu banyak
orang yang tidak tahu apa itu arti namanya, padahal dia sangat tahu nama itu
adalah doa dari orang tua, namun dilain hal banyak juga yang ingin mengetahui
arti nama pemberian orang tuanya, namun sayang ketika ditanya, orang tuanya menjawab ; le, jenengmu ora
ono artine (nak, namamu gak ada artinya ). Tentu saja berpengaruh pada psikologi
anak yang masih dini, ketika ia mengetahui namanya tidak mempunyai arti
sedangkan ia tahu bahwa teman-temannya mempunyai arti dari nama-nama mereka.
Nah, kali ini penulis tidak membahas masalah
arti makna nama, apalah arti makna nama
jika yang SIpunya nama tidak mau mengaplikasikan arti namanya itu
sendiri. Namun penulis hanya ingin memberikan sedikit asumsi tentang
penamaan
musrif/ah di Ma’had Al ‘Aly Sunan Ampel
UIN Maliki Malang, karna dari segi tinjau penulis, Ma’had al ‘Aly Sunan
Ampel adalah adalah lembaga pendidikan agama non formal
yang sering dijadikan contoh oleh ma’had
al ‘Aly lainnya. Sehingga rasanya bagi penulis sangat penting hal ini
dibahas. Ops…, tapi penulis hanya membahas tentang judul yang tertera
diatas
loch, selebihnya kalau datanya mau kongkrit Tanyakan saja langsung sama
ma’hadnya.
Menurut
pandangan penulis penamaan Musyrif atau musyrifah didasarkan karena adanya
keinginan para pendiri ma’had agar istilah yang berada dilingkungan setingkat
Madrasah Aliyah dibedakan dengan universitas, jika seorang santri ingin menjadi
mahasantri tinggal dima’had al ‘aly namun istilah pengurus/mudabbir masih tetap
ada, tentu saja para mahasantri akan mengingat bahwa pengurus bertugas untuk
menghakimi ataupun menganiaya para mahasantri junior. Jadi, pandangan mereka
terlalu banyak rasa su’uzdon dengan para mudabbir/mudabbiroh. Sehingga rasa
suntuk atau bosan yang mendalam akan terasa sebelum mereka melihat kenyataan
dilapangan. Apapun program yang dilayangkan sebelum mereka tinggal dima’had
mereka sudah membayangkan lebih dahulu kedepannya apa aktivitas yang diberikan
mudabbir/mudabbiroh. Mereka selalu cepat memvonis setiap kegiatan ma’had adalah
keuntungan muddabir/mudabbiroh. Jadi penulis menyimpulkan istilah mudabbir itu
bagus namun istilah klasik itu membawa kans troma bagi yang dari ma’had
sebelumnya, sehingga menimbulkan sisi negative ketika para mahasantri
membayangkan mudabbir/mudabbiroh.
Namun
bagaimana dengan istilah musyrif dan musyrifah? kalau di lihat dari makna,
musyrif/musyrifah berarti pembimbing. Dari ilmu psikologi seorang mahasantri
yang setingkat dengan mahasiswa tentu sangat berbeda pendewasaan. Seorang
mahasantri adalah proses pendewasaan menuju pemuda sedangkan Pelajar MA proses
pendewasaan menuju remaja. Tentu saja, dalam hal psikologi dari dua variable
tersebut berbeda dalam menanganinya. Sehingga kalau dikaitkan dengan istilah
pembimbing (musyrif/Musyrifah) tentu saja sangat cocok bagi umur manusia yang
beralih menuju pendewasaan menjadi seorang pemuda.
Dan
jika istilah ini dipakai dima’had al ‘aly akan terkesan bagi para mahasantri
bahwa mereka dianggap sudah dewasa, tidak perlu ini itu yang begitu
keterlaluan. Mereka cukup dibimbing, diberikan arahan agar mengenal siapa
mereka sekarang, selain itu sebaiknya pembimbing/musyrif juga mempunyai
kelebihan didalam membimbing para mahasantri, agar sikap istilah musyrif itu
betul-betul melekat dihati mereka. Jika seorang musyrif sama yang dilakukan dengan mudabbir, maka
nama mudabbir akan terkesan menjadi nama formalitas sedangkan fungsinya tidak
berbeda dengan mudabbir.
Wallahu
a’lam bissowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Saran Anda