Live

M A B R U R I-B L O G : S e l a m a t. D a t a n g. D i r u m a h. K e c i l. K a m i. S e m o g a. B l o g. I n i. B a r o k a h. U n t u k. P a r a. P e m b a c a. S e m u a n y a.

Senin, 19 Desember 2016

REVIEW JURNAL : Pemikiran Abdul Karim Soroush tentang Persoalan Otoritas Kebenaran Agama




REVIEW JURNAL
Judul Jurnal 
Pemikiran  Abdul Karim Soroush tentang  Persoalan Otoritas Kebenaran Agama
Penulis           
Badrussyamsi
Tahun Terbit
September 2015
Jumlah Halaman
26 Halaman
p-ISSN/e-ISSN
1978-3183/2356-2218

A.      Pengantar
Jurnal ini membahas munculnya klaim kebenaran pemahaman keagamaan dan bagaimana klaim tersebut dapat mengakibatkan terjadinya otoritarianisme pemahaman keagamaan. Tidak jarang sebuah klaim kebenaran interpretasi keagamaan mengarahkan sang pemilik interpretasi untuk melakukan tirani atas nama agama. Bagaimana Soroush menghubungkan pluralitas pemikiran keagamaan dan perlunya penegakan nilai-nilai demokrasi dalam menghadapi ancaman otoritarianisme keagamaan ini? Bagaimana teori Soroush yang terkenal yakni the contraction and expansion of religious interpretation diarahkan untuk membendung otoritarianisme dan tirani atas nama agama?

B.       Deskripsi Pembahasan Jurnal
Forough Jahanbakhsh menggarisbawahi pemikiran Soroush ke dalam lima poin, antara lain: (1) pembedaan agama dan pemikiran keagamaan, (2) agama itu bersifat ketuhanan, kekal, tahan, dan sakral, (3) pemahaman keagamaan dan pengetahuan agama tidak sakral, (4) pemahaman agama dipengaruhi oleh pengetahuan manusia, dan (5) pengetahuan agama itu berubah-ubah dan terikat waktu.
Bagi Soroush sebagaimana dikutip Valla Vakili, meskipun agama tidak berubah, akan tetapi pemahaman dan pengetahuan manusia tentang agama berubah. Pengetahuan agama hanya satu dari sekian cabang pengetahuan manusia. Ia tidak dituhankan oleh sifat ketuhanan agama, dan ia tidak boleh dirancukan dengan agama itu sendiri. Pengetahuan agama dihasilkan oleh para cendekia yang melibatkan diri dalam pembelajaran inti naskah-naskah Islam yang tidak akan pernah berubah—al-Qur’ân, hadîth, dan ajaran Imam-imam Shî‘ah. Para cendekia tersebut menafsirkan naskah-naskah itu secara berlainan, tergantung dari metode mereka, yang mencakup, misalnya, dari aturan tata bahasa Arab ke logika inferensial, dari filosofi Aristoteles ke hermeneutika kontemporer.
Soroush menegaskan bahwa hanya agama yang tidak akan berubah sedangkan pemahaman agama, penafsiran agama, dan ilmu agama akan berubah sesuai dengan waktu. Sifat “perubahan” yang tidak dapat dielakkan oleh pemahaman dan penafsiran agama ini yang diarahkan Soroush untuk menghalangi lahirnya klaim otoritas kebenaran di antara pemahaman dan penafsiran agama yang ada. Hanya agama yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, sedangkan pemahaman dan penafsiran agama tidak memiliki kebenaran mutlak dan absolut. Soroush menegaskan bahwa di mana pun yang kita hadapi adalah ilmu agama yang mengamati dan memahami agama, tetapi itu bukan agama. Ketentuan semacam ini mencakup semua cabang ilmu pengetahuan manusia.
Penolakan atas klaim otoritas kebenaran oleh sebuah pemahaman dan penafsiran agama mengarahkan Soroush untuk memperbesar porsi paradigma pluralisme dalam pemikirannya. Menurut Nacim Pak Shiraz, dalam memahami Islam Soroush menggunakan pendekatan pluralistik atas interpretasi atas Islam. Musibah dari adanya klaim otoritas kebenaran sering digambarkan oleh Soroush sebagai perbudakan agama oleh para penafsir agama. Soroush mengingatkan kaum Muslim tentang posisinya di hadapan ajaran Tuhan. Soroush mengingatkan bahwa kaum Muslim siapapun dia -khususnya para ilmuwan dan pembaru agama- bukanlah orang yang berhak menentukan maksud Tuhan di dalam ajarannya. Mereka adalah para pejuang yang hanya berupaya memahami apa yang dikehendaki Tuhan di dalam al-Qur’ân sehingga ketika mereka sampai pada suatu pemahaman tertentu, maka tidak kemudian ia memaksakan pemahaman tersebut pada orang lain ataupun harus dianut olehnya.
Soroush mengusulkan agar pengetahuan agama dan keagamaan hendaknya disesuaikan dengan dasar prinsip-prinsip demokrasi sejauh hal itu terbuka, kritis, umum, dan plural.  Hal itu karena bagi Soroush, konsep kebebasan, demokrasi, dan toleransi mengalir dari pemahamannya tentang Islam. meskipun agama itu sendiri sakral, penafsiran atas agama itu tidak sakral, bisa dimodifikasi, bisa didefinisikan kembali.
Soroush menegaskan bahwa sebuah bentuk pemahaman dan penafsiran keagamaan tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya pemahaman dan tafsiran yang paling benar di antara pemahaman dan tafsiran keagamaan lainnya. Adanya pengakuan akan pemahaman keagamaan yang otoritatif dapat mengarahkan pada sikap keagamaan yang otoriter hingga berujung pada tirani keagamaan. Sikap otoriter yang dilandasi semangat merasa memiliki kebenaran paling tinggi telah menggoda para ulama untuk menyalahkan pemahaman keagamaan lain dan bersikap otoriter hingga pada pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Para pembaru agama atau ilmuwan agama bukanlah orang yang berhak atas itu sehingga tidak sedikitpun mereka diperkenankan mengambil jubbah kenabian. Mereka harus bersikap terbuka dan bebas atas segenap pemahaman keagamaan yang lain. Otoritaritarianisme keagamaan lahir karena adanya pemahaman bahwa para ulama mengklaim bahwa mereka telah diberi amanah agama oleh Nabi atau Rasul sehingga para ulama ini harus melaksanakan amanah ini. Jika tidak melaksanakan amanah tersebut, maka mereka di Hari Kiamat akan memperoleh hukuman yang berat dari para Nabi.
Permasalahan bukan terletak pada penerimaan amanah keagamaan karena semua umat memang harus merasa memiliki amanah kenabian untuk mengajak orang kepada kebajikan. Permasalahannya adalah perasaan menerima kebenaran sehingga menjadikan sang ulama merasa memiliki kebenaran paling otoritatif yang diyakini diberikan oleh Nabi dan sekaligus menganggap paling benar dan menolak pemahaman dan pemikiran yang lain.
Soroush mempertanyakan penegakan keagamaan dan kekuasaan para ulama yang diberikan atas mereka. Soroush yang pada walnya merupakan sekutu dekat kalangan Republik Islam Iran telah menjadi pengkritik yang terang-terangan. Soroush mengritik monopoli atas Islam yang dilakukan oleh para ulama. Dampak negatif kekuasaan agama yang didasarkan pada satu penafsiran agama tertentu ini yang melahirkan pemerintahan represif. Diamenolak pemahaman bahwa Islam sebagai ideology politik. Ideologi keagamaan tidak boleh mengatur negara modern karena hal itu akan cenderung pada totalitarianisme. Penggunaan ideologi keagamaan dalam pemerintahan akan menghalangi pertumbuhan pengetahuan agama.
abdul karim soroush
Ide Soroush tentang “menyelamatkan Islam dengan memisahkan ulama dan negara” dipengaruhi oleh teori Weber mengenai pembedaan antara pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan dan oleh karenanya tidak menyediakan dasar bagi politik modern. Dengan mendefinisikan kembali aspek-aspek mistik Ayatullah Khomeini dan ideologi Ali Syari’ati dalam cara yang jelas ke arah individu daripada pengalaman karismatik masyarakat, Soroush mencoba menyebarkan visi reformasi politik yang menginspirasi secara spiritual dan secara politik rasional.  Soroush mendukung penafsiran rasional atas Kitab Suci yang mengarah pada pemisahan agama dan negara.
Teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama (the contraction and expansion of religious interpretation) merupakan paradigm yang ditawarkan Soroush untuk membendung arus otoritarianisme sebuah penafsiran agama. Teori ini dipandang dapat menjadi pilar penguat pluralisme dan nilai-nilai demokrasi. Menurut Soroush, yang terpenting dalam upaya memahami pemikiran keagamaan manusia adalah keharusan untuk membedakan mana agama sebagai sebuah ajaran Tuhan dan pemikiran keagamaan manusia sebagai produk manusia dan sebagai refleksi atas ajaran agama. Dari pembedaan ini nantinya akan diketahui unsur mana yang sebenarnya sakral, mutlak kebenarannya dan unsur mana yang profan, tidak asli dan tidak mutlak kebenarannya.
Ia menerima perlunya merekonsiliasi perubahan-perubahan dalam dunia modern dengan kebakaan agama, tetapi dia tidak setuju dengan rekonstruksi atau pembangkitan kembali Islam. Bagi Soroush, Islam tidak berubah-ubah dan segala upaya untuk merekonstruksi Islam adalah sia-sia sekaligus sesat. Agama tidak perlu diubah. Pemahaman orang tentang agamalah yang perlu diubah. Soroush menegaskan bahwa manusia biasa tidak dapat mewarisi keistimewaan para Nabi dan Rasul sehingga hasil pemikiran dan pengalaman keagamaan seseorang tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum secara mutlak sebagaimana layaknya Nabi. Dia menjelaskan bahwa teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama membuka rahasia semua pertanyaan seperti itu. Teori ini membedakan antara agama dan ilmu agama. Teori ini menilai ilmu agama sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan manusia dan menganggap pemahaman kita tentang agama berevolusi bersama cabang-cabang ilmu pengetahuan manusia lainnya.
Teori  Soroush berdampak pada seluruh hasil rancangan Soroush yakni dunia yang secara a priori bersifat plural di mana dia menyebutnya “pluralisme negatif” dan secara a posteriori juga bersifat plural, dan dia menyebutnya “pluralisme positif”. Dengan konsep ini Soroush sampai pada satu kesimpulan bahwa manusia dan kaum beriman tidak bisa berharap terlalu banyak pada agama di mana Soroush menyebutnya sebagai “agama minimalis” melawan orang “maksimalis”.
Pokok pemahaman teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama terjadi dengan memahami dua perbedaan utama: pertama, perbedaan antara ilmu agama dan pemahaman kita tentang ilmu agama dan, kedua, perbedaan antara pengetahuan pribadi tentang agama dan ilmu agama. Jika seseorang tidak menimbang dua benteng yang besar ini, dia tidak akan dapat menikmati padang rumput dan cakrawala teologi yang luas dan terbuka. Teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama, yang pada dasarnya adalah teori “interpretasi-epistemologi”, merupakan bagian dari tiga bidang ilmu yang lain juga: kalâm (teologi Islam), us }ûl al-fiqh (logika terapan dalam yurisprudensi agama), dan ‘irfân (dimensi esoteris Islam).
Soroush menguraikan bahwa komposisi teorinya terdiri dari tiga unsur penting dan merupakan disiplin keilmuwan yang utama dalam Islam yakni ilmu kalam atau teologi, ushul fiqh, dan tasawuf. Meski demikian, visi penting Soroush dalam pemikirannya adalah reformasi. Rancangan Soroush meluncurkan secara mendasar arah baru dalam teologi dan politik Islam (teologi politik) yang dibangun atas mistisisme klasik dan teologi rasional (Mu‘tazilah). Abad 20 menunjukkan adanya penyerapan pemikiran teologi Mu‘tazilah di kalangan pemikir Islam rasionalis. Dalam satu penilaian, pengaruh Mu‘tazilah telah memberi inspirasi signifikan dalam karya penting Soroush.

C.      Kesimpulan
Klaim otoritas kebenaran agama lahir karena pemilik pemahaman
keagamaan tidak membangun sebuah kesadaran bahwa pemahaman keagamaan mereka hanya merupakan salah satu dari pemahaman keagamaan yang lain dan hal itu tidak bersifat sakral. Soroush menekankan seharusnya yang memiliki otoritas tertinggi adalah agama dan bukan pemahaman keagamaan. Pemahaman keagamaan hanya merupakan ijtihad dari para mufassir atau pemikir untuk menemukan makna makna dari teks-teks keagamaan. Ideologisasi agama dapat menurunkan nilai kesakralan dan keilahian agama menjadi bersifat duniawi, manusiawi, dan hilang kesakralannya. Lebih bahaya lagi ideologisasi agama dapat melahirkan tirani dan otoritarianisme atas nama agama. Kesadaran pluralitas pemikiran menjadi sangat penting untuk menghindari lahirnya otoritarianisme pemahaman keagamaan, dan ia dapat menjadi pilar-pilar demokrasi bagi sebuah pemerintahan