Live

M A B R U R I-B L O G : S e l a m a t. D a t a n g. D i r u m a h. K e c i l. K a m i. S e m o g a. B l o g. I n i. B a r o k a h. U n t u k. P a r a. P e m b a c a. S e m u a n y a.

Senin, 26 September 2016

PEMIKIRAN TENTANG ISLAMISASI ILMU





BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Islam adalah agama yang selalu memperhatikan dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad serta banyak ayat di dalam al-Quran yang menjelaskan tentang Ilmu dan posisi ahli Ilmu[1]. Kedatangan Islam di bumi ini tak lain adalah untuk membuka mata manusia agar beranjak dari kebodohan dan keterbelakangan kehidupannya menuju kepada peradaban yang ideal (civil Sociaty). Kesuksesan dan keberhasilan Islam meraih peradaban ideal tersebut tidak terlepas dari ajaran Islam kepada umatnya agar selalu menggunakan ilmu pengetahuan untuk mencapai kemajuan. Dan lebih tepatnya Islam berkembang pesat dengan ilmunya.
Bagi komunitas muslim islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan, dan peradaban secara menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivita manusia, termasuk dadalamnya ilmu pengetahuan [2]. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa pada awal datangnya Islam dilanjutkan dengan jaman khulafaurrasyidin sampai masa dinasti Abbasiyah yang oleh Harun Nasution disebut Periode Klasik[3], merupakan masa-masa kejayaan islam dan kemajuan peradaban di berbagai aspek kehidupan khususnya dalam ilmu pengetahuan.
Kemajuan peradaban ini ditandai dengan revolusi ilmiah yang terjadi secara besar-besaran di dunia Islam. Para cendekiawan pun bermunculan dalam berbagai disiplin pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun non-agama (pengetahuan umum). Tidak hanya menyangkut permasalahan fiqih dan teologi, tetapi juga dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya. Pada masa-masa tersebut juga dihasilkan banyak sekali terjemahan buku-buku dari berbagai bahasa ke dalam bahasa Arab dalam berbagai disiplin ilmu ; filsafat, kedokteran, astronomi, optic, seni dan arsitektur[4].
Dalam bidang hukum, dikenal beberapa ulama besar yang mazhab mereka diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia hingga sekarang, seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Hanbal. Dalam bidang teologi, dikenal seperti Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, Wasil bin ‘Ata dan al-Jubba’i. Dalam bidang tassawuf, dikenal seperti Dzun Nun al-Misri, Abu Yazid al Busthami dan al-Hallaj. Dalam bidang filsafat, dikenal seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih. Beberapa ilmuwan juga ikut bergerak dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti Ibnu al-Haysam, Ibnu Hayyan, al-Khawarizmi, al-Masudi dan al-Razi[5]. Satu hal yang menarik adalah para ilmuwan tersebut memiliki pandangan yang menunjukkan adanya kesatupaduan antara ilmu pengetahuan dan iman. Tradisi ilmiah dalam masyarakat muslim pada saat itu memiliki nilai yang sangat “Islamis” karena kuatnya pengaruh dari kitab suci al-Qur’an.
Pola transmisi kebudayaan kemudian berbalik arah ketika orang eropa bangkit dari jaman kegelapan yang diawali dari revolusi industri di Inggris dan revolusi sosial politik di Perancis pada paruh kedua abad ke-18 yang kemudian dikenal dengan renaissance di Eropa menuju peradaban modern telah berhasil mengantarkan bangsa-bangsa Barat mencapai sukses luar biasa dalam pengembangan teknologi masa depan.
Sementara di sisi lain, kaum Muslimin sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Dengan berbagai upaya, baik dalam hal pendidikan maupun politik orang barat menguasai ilmu-ilmu yang sebelumnya sudah dipelajari dan dikembangkan oleh umat Islam. Ironisnya mereka tidak mengakui tentang prestasi (peradaban) yang pernah dicapai oleh umat Islam. dan hanya sedikit yang menyadari akan peran peradaban Islam dan sumbangsih kaum Muslimin dalam pembangunan peradaban Barat.[6]
Kemunduruan Islam merupakan akibat dari dominasi barat yang telah ikut andil mengakibatkan ilmu pengetahuan lepas dari kendali umat Islam dan beralih ke Barat. Dalam  pandangan sebagian intelektual Muslim ilmu pengetahuan telah termuati oleh ideologi, filosofi dan peradaban Barat yang banyak hal tidak sejalan dan bahkan berseberangan dengan ideologi dan peradaban Islam.
Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya global, para ilmuan muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yaitu dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankanketaatan fanatik terhadap syariah, sebagai sebuah produk fiqh pada Abad Pertengahan dulu, yang dianggap telah final. Mereka melupakan sumber kreativitas, yaitu ijtihad, bahkan berpendapata bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Sementara di sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi di barat yang sekuler semakin berkembang dan tersebar ke berbagai belahan dunia, tidak terkecuali dunia Islam. Sementara umat Islam seakan-akan hanya terhipnotis menyaksikan perkembangan ilmu pengetahuan yang sekuler dan semakin jauh dari ruh dan nilai-nilai agama tersebut.
Terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern yang sangat pesat, umat Islam menanggapinya dengan berbagai sikap. Umat Islam yang terpesona oleh ilmu pengetahuan modern menurut Nasim Butt memberikan reaksi yang beragam; Pertama, sekelompok Muslim yang menolak ilmu pengetahuan yang tidak bersumber dari Alquran dan Sunnah. Bagi mereka hanya kedua sumber Islam itulah yang layak dan sah sebagai sumber ilmu pengetahuan. Kalaupun ada ilmu pengetahuan yang bersumber dari selain Alquran dan Sunnah seperti ilmu pengetahuan modern, maka status ilmu pengetahuan tersebut hanyalah fardu kifayah, yakni hanya sebagian kecil orang saja boleh mempelajarinya. Sedangkan ilmu yang harus dipelajari oleh setiap orang Muslim (fardu ‘ain) adalah wacana keilmuan di seputar kedua sumber Islam tersebut. Kedua, sekelompok Muslim yang berpandangan bahwa ilmu pengetahuan modern perlu diislamkan.[7] Oleh karena itu, muncullah sebuah gagasan yang dikenal dengan istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan sebagai upaya untuk menetralisir dan meminimalisir pengaruh sains barat modern yang sekuler.

B.  Rumusan Masalah
Pembahasan pokok yang akan dibahas didalam makalah ini adalah Pemikiran tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Sebagai pijakan dalam makalah ini, maka pemakalah  menjabarkan pokok pembahasan dalam rumusan masalah sebagai berikut :
1.       Apa yang dimaksud dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
2.       Bagaimana pandangan Para tokoh Islamisasi ilmu Pengetahuan tentang Islamisasi ilmu Pengetahuan?
3.      Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan?


C.  Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan ini adalah :
1.       Mendeskripsikan tentang pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
2.       Mendeskrepsikan pandangan Para tokoh Islamisasi ilmu Pengetahuan tentang Islamisasi ilmu Pengetahuan
3.       Menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan (pemikiran) Islamisasi Ilmu Pengetahuan







BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara Etimologis, Islamisasi ilmu pengetahuan terdiri dari tiga suku kata yakni, Islamisasi, ilmu dan pengetahuan. Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer Islamisasi diartikan  dengan peng-Islaman, peng-Islaman dunia, usaha meng-Islamkan dunia[8]. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan atau kepandaian, baik yang masuk segala jenis kebatinan maupun yang berkenaan dengan alam, dan lain sebagainya. Sedangkan Pengetahuan adalah, hal mengetahui sesuatu, segala apa yang diketahui[9].
Menurut Ahmad Syadaly, Ilmu merupakan cara berfikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Ilmu merupakan produk dari proses berfikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berfikir ilmiah.[10] Sedangkan pengetahuan dalam Kamus Besar  Bahasa Indonesia (KBBI), disamakan artinya dengan ilmu. Ilmu adalah pengetahuan.[11]
Ilmu Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan sebuah makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan dengan datangnya  jiwa kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri [12]. Dengan kata lain, hadirnya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber  pengetahuan, sedangkan hadirnya jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai penafsirnya.[13]
Dari penjelasan ini dapat kita tarik benang merah bahwa ilmu pengetahuan tanpa pengakuan terhadap eksistensi Tuhan, bukan merupakan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Ini artinya dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, umat Islam akan terbebaskan dari belengu hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga timbul keharmonian dan kedamaian dalam dirinya, sesuai dengan fitrahnya.
Sedangkan pengertian Islamisai ilmu pengetahuan menurut beliau yaitu: Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap pemikiran dan bahasa Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya. Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya yang tidak sekuat proses evolusi dan devolusi [14].
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka, Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler.
Menurut AI-Faruqi dalam Budi Handrianto; menyatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowladge) adalah usaha untuk memberikan defenisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam.[15]
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang “terlalu” religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya.
Kemudian Osman Bakar mengembangkan definisi Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi sebuah program yang berupaya memecahkan masalah-masalah yang timbul karena perjumpaan antara Islam dengan sains modern sebelumnya[16]. Progam ini menekankan pada keselarasan antara Islam dan sains modern tentang sejauhmana sains dapat bermanfaat bagi umat Islam.
Islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai keislaman kedalam berbagai bidang kehidupan manusia, khususnya ilmu pengetahuan. Dengan Islamisasi ilmu pengetahuan dapat diketahui dengan jelas bahwa islam bukan hanya mengatur segi-segi ritualitas dalam arti shalat, zakat,  puasa, dan haji melainkan juga sebuah ajaran yang mengitegrasikan segi-segi kehidupan duniawi, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi[17].
وابتغ فيما آتاك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا.
Sedangkan pengertian  Islamisasi Ilmu menurut kalangan akademisi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, ada 4 versi [18], yaitu:
1.      bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan ilmu pengetahuan umum yang ada (ayatisasi).
2.      bahwa Islamisasi dilakukan dengan cara mengislamkan orangnya.
3.      Islamisasi yang berdasarkan filsafat Islam yang juga diterapkan di UIN Malang dengan mempelajari dasar metodologinya.
4.      Memahami Islamisasi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang beretika atau beradab.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan merupakan sebuah upaya untuk merekonstruksi semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional – empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-quran dan Sunnah Nabi. Dan pada gilirannya umat Islam akan terlepas dari hegemoni barat yang sekuler.

B.  Tokoh-Tokoh Islamisasi Ilmu dan Pandangannya
1.    Sayyed Hossein Nasr
Untuk mewujudkan sains Islami, Nasr menggunakan perbandingan dengan apa yang telah diraih Islam pada zaman keemasannya (zaman pertengahan). Menurutnya, pada saat itu dengan teologi yang mendominasi sains, sains telah memperoleh kecerahan dan dapat menyelamatkan umat dari sifat destruktif sains.[19]
Nasr mengajukan istilah sakralisasi ilmu pengetahuan dunia modern saat ini. Ia menuangkan idenya dalam Science and Civilization in Islam (1964), Islamic Science: An Illustrated Study (1976), Knowledge and The Sacred (1981). Menurutnya, desakralisasi bermula pada periode renaissance, ketika rasio mulai dipisahkan dari iman. Salah satu akibat pemisahan tersebut, akhirnya studi agama-pun didekati dengan menggunakan pendekatan sekular. Visi yang menyatukan ilmu pengetahuan dan iman, agama dan sains, dan teologi dan semua segi kepedulian intelektual telah hilang dalam ilmu pengetahuan Barat modern. Nasr Mengajukan Sains Sakral, sebagai solusi sekularisasi ilmu. Menurutnya, iman tidak terpisah dari ilmu dan intelek tidak terpisah dari iman. Hanya saja, sains sakral yang digagasnya karena termanifestasi oleh Filsafat Perenialisme, ternyata tidak sesuai dengan spirit keunikan dan kebenaran islam[20].
garis argument tersebut dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam makalah beliau Fashl al- Maqal wa Taqrir ma bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-ittishal, bahwa Ilmu dan Iman tidak terpisahkan. Dikatakan tidak terpisahkan karena iman tidak saja mendorong bahkan menghasilkan ilmu tetapi juga memmbimbing ilmu dalam bentuk pertimbangan moral dan etis dalam penggunaannya. Meskipun demikian ilmu berbeda dari iman, karena ilmu bersandar dari observasi terhadap alam dan disusun melalui proses penalaran rasional, sedangkan iman bersandar pada sikap membenarkan atau mendukung pembenaran berita yang dibawa oleh para pembawa berita atau yang disebut Nabi atau Rasul[21]. Menurut Nurchalish Majid dalam Jaih Mubarok, berpendapat bahwa ada hubungan organik antara Iman dan Ilmu dalam Islam, Ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam ciptaan-Nya, sebagai manifestasi menyingkap tabir rahasia-Nya.[22].

2.    Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Al-Attas melihat bahwa ilmu pengetahuan yang ada ini tidak bersifat netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai (value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).[23]
Ironisnya, ilmu yang ada ini sudah terbaratkan atau tersekulerkan. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam, telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian peradaban Barat.
Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.[24]
Kehidupan Barat yang bercirikan sekuler telah menjadikan sains (ilmu pengetahuan) sebagai satu-satunya pengetahuan yang bersifat otentik yang hanya dikaitkan dengan fenomena semata. Kriteria untuk mengukur sebuah kebenaran juga hanya berpatokan pada rasio. Pandangan seperti itu muncul karena sains Barat tidak dibangun di atas wahyu. Ia dibangun di atas budaya yang diperkuat oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan, nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.
Inilah yang dikritisi oleh Al-Attas. Pandangan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan epistimologi Islam. Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa untuk mengejar kebenaran.Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.[25]
Padahal sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan. Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam. Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan, keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[26]
Kebenaran dan realitas dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung dengan premis-premis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan nilai-nilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.[27]
Sedang kelahiran ilmu dalam Islam, menurut Al-Attas , didahului oleh tradisi intelektual yang tak lepas dari lahirnya pandangan hidup Islam yang bersumber dari al-Qur`an dan penjelasannya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW).
Berdasar inilah, sains dalam Islam menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu untuk alat ukur sebuah kebenaran akhir. Wahyu menjadi dasar bagi kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisme.
Realitas dan kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya, sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak.
Pandangan hidup Islam mencakup dunia dan akhirat. Aspek dunia itu harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final.
Pandangan hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tauhid). Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi.[28]
Dengan demikian, sangat jauh berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah). Karena Barat mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme sedangkan Islam pada konsep tauhid. Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi yang diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.[29]
Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan[30]. Jelasnya, “ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting.
Al-Attas menolak pandangan bahwa Islamisasi ilmu bisa tercapai dengan melabelisasi sains dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan tidak ada manfaatnya selama “virus”nya masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri sehingga ilmu yang dihasilkan pun jadi mengambang, Islam bukan dan sekuler pun juga bukan. Karena tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan itu sendiri menurut beliau adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya kepada Allah, dan dengan Islamisasi tersebut akan terlahirlah keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan iman[31].

3.    Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
Secara umum Islamisasi ilmu bermaksud untuk memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang religius, dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Kegiatan al-Faruqi dalam masalah islamisasi didorong oleh pendapatnya bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini sudah sekuler dan jauh dari kerangka tauhid. Untuk itu dia menyusun kerangka teori, metode dan langkah-langkah praktis menuju islamisasi ilmu pengetahuan. Sejalan dengan itu, dia juga menyerukan adanya perombakan sistem pendidikan Islam yang mengarah kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan terciptanya paradigma tauhid dalam pengetahuan dan pendidikan.[32] Ia berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial model barat menunjukkan kelemahan metodologi yang cukup mendasar, terutama bila diterapkan untuk memahami kenyataan kehidupan sosial umat Islam yang memiliki pandangan hidup yang sangat berbeda dari masyarakat Barat[33].
Sebagai panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu ke-rangka kerja dengan lima tujuan dalam rangka islamisasi ilmu, sebagai berikut [34]:
1.    Penguasa disiplin ilmu modern
2.    Penguasa khazanah warisan islam
3.    Membangun relevansi islam dengan masing-masing bidang ilmu modern dan khazanah warisan islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern
4.    Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern.
5.    Pengarahan aliran pemikiran islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT.
Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi merumuskan ke dalam dua belas  langkah yang harus dilakukan diantaranya adalah:[35]
1.    Penguasaan disiplin ilmu modern : Penguraian kategoris. Sehingga diharapkan Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang menjadi terperinci dalam sebuah kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema- tema.
2.    Survei disiplin ilmu : Semua disiplin ilmu harus disurvei serta harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
3.    Penguasaan khazanah Islam : Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Yang diperlukan di sini adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu. Antologi ini akan disusun menurut topik sesuai urutan yang dikenal dan berisi sumbungan terbaik dari khazanah ilmiah Islam yang menyangkut sejumlah persoalan yang merupakan objek disiplin ilmu modern.
4.    Penguasaan terhadap khazanah Ilmiah Islam untuk tahap analisa : yang ditekankan dalam hal ini adalah analisis terhadap khazanah pemikir Islam dalam perspektif masalah kekinian; dalam hal prinsip-prinsip dan masalah-masalah pokok serta tema-tema yang berhubungan dengan permasalahan masa kini dan harus menjadi sasaran strategi penelitian dan pendidikan Islam.
5.    Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu : dengan mengajukan tiga persoalan ;
Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin modern.
Kedua,   seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil- hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut.
Ketiga,  apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
6.    Penilaian kritis terhadap disiplin modern : hal itu menurut beliau baru bisa dilakukan jika relevensi Islam telah disusun.
7.    Penilaian kritis terhadap khazanah Islam : Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
8.    Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam : Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
9.    Survei mengenai problem-problem umat manusia, mencakup semua aspek baik sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.
10.              Analisa kreatif dan sintesa : Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin modern, serta untuk menjembatani jurang kemandegan yang telah belangsung selama berabad-abad dan kaitannya dengan prestasi-prestasi ilmu modern.
11.    Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam : Setelah keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin ilmu modern telah dicapai maka selanjutnya buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam.
12.    Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan

Al-Faruqi juga menjelaskan alat bantu lain untuk mempercepat proses islamisasi ilmu pengetahuan:[36]
1.    Melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah semacam konfrensi, seminar, lokakara, talkshow dan lain-lain.
2.    Pelatihan dan pembinaan instruktur-instruktur dan staf-staf pengajar.

Sejak munculnya Ide Islamisasi Ilmu pengetahuan sampai sekarang masih terjadi pro kontra, ada yang mendukung, ada yang menolak dan ada yang mendukung sebagian ide, dan menolak bagian ide yang lain. Satu pihak dengan penuh antusias dan optimis menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme Islam, namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan Islamisasi hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati sakit hati dan rasa rendah diri yang berlebihan (inferiority complex) karena ketertinggalan mereka yang sangat jauh dariperadaban Barat.
Berikut penulis sebutkan tokoh-tokoh tersebut :
  1. Ziauddin Sardar
Seorang pemikir muslim dari Inggris. Beranggapan bahwa program Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang naif dan dangkal. Beliau mengkhawatirkan gagasan gerakan Islamisasi ini hanya akan menghasilkan deIslamisasi (westernisasi) Islam. Sardar pesimis akan kemampuan para ilmuwan muslim untuk memadukan ilmu Islam dengan ilmu Barat karena di antara keduanya terdapat perbedaan paradigma yang mencolok.[37]
Sardar mengkritik konsep Islamisasi ilmu pengetahuan dari al-Faruqi. Beliau juga melakukan rekonstruksi terhadap konsep tersebut dengan menggunakan terminologi sains Islam. Kritik Sardar diarahkan pada pendapat adanya relevansi antara sains Islam dan sains Barat. Ia tidak setuju dengan al-Faruqi yang menyatakan perlunya penguasaan terhadap sains Barat terlebih dahulu untuk menguasai sains Islam. Sardar menjelaskan bahwa “Semua ilmu dilahirkan dari pandangan tertentu dan dari segi hirarki tunduk kepada pandangan tersebut. Oleh karena itu, usaha untuk menemui epistemologi tidak boleh diawali dengan memberi tumpuan kepada ilmu modern, karena Islamisasi ilmu modern hanya bisa terjadi dengan membangun paradigma yang mengkaji aplikasi luar peradaban Islam yang berhubungan dengan keperluan realitas kontemporer. Jika tetap bertahan pada corak berpikir seperti itu berarti hanya sebatas mengeksploitasi ilmu pengetahuan Islami namun tetap menggunakan corak berpikir Barat”.[38]
Sardar memberikan solusi dengan mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan harus berangkat dari membangun epistemologi Islam sehingga hal ini bisa menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas pilar-pilar ajaran Islam. Karena itu, menurut Sardar, yang diperlukan adalah reorientasi radikal ilmu pengetahuan hingga ke tingkat epistemologi dan pengisian pandangan dunia dengan nilai-nilai Islam agar terbentuk suatu ilmu pengetahuan Islam yang lebih sesuai dengan kebutuhan fisik dan spiritual umat Islam. Sardar menyebut usahanya ini dengan “kontemporerisasi ilmu pengetahuan Islam”. Nilai-nilai yang dijadikan pijakan epistemologi oleh Sardar adalah sepuluh nilai, yaitu ; 1)Tauhid, mengakui hanya ada satu tuhan dan kebenaran itu dari-Nya, 2)Khilafah, kami berada di bumi sebagai wakil allah, segalanya sesuai dengan keinginan-Nya, 3) Ibadah, keseluruan hidup manusia harus selaras dengan ridho allah. 4) Ilmu, tidak menghentikan pencarian ilmu untuk hal-hal yang bersifat material, tapi juga metafisme, 5) Halal, diizinkan, 6) Haram, di larang, 7) Adil, semua sains harus berpijak pada nilai adil, 8) Zulm, aniaya, 9) Istishlah, untuk kepentingan umum, 10) Dhiya’ (pemborosan), jangan boros, misalnya sekalipun berwudhu dengan air laut.[39]

  1. Fazlur Rahman
Menurut beliau, ilmu pengetahuan tidak bisa di-Islamkan karena tidak ada yang salah didalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalah gunakannya[40]. Dan bahkan ia berkesimpulan bahwa “kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan ilmu pengetahuan islami. Lebih baik kita memanfaatkan waktu, energi, dan uang untuk berkreasi. Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas, “seperti senjata dua sisi yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab, ia sangat penting digunakan dan didapatkan secara benar.” Baik dan buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya.

  1. Jaafar Syeikh Idris
Beliau adalah seorang ulama’ Sudan yang pernah mengajar di Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi. Beliau menyarankan agar para cendikiawan muslim membawa pandangan Islam ke dalam bidang dan karya akademis mereka dalam rangka evolusi sosial Islam[41]. Ketika slogan Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi sangat popular pada 1987, Idris menulis sebuah artikel yang mengingatkan agar beberapa masalah filsafat dan metodologi yang serius, ditetapkan terlebih dahulu sebelum program Islamisasi yang berarti dapat dilaksanakan. Idris mengajukan beberapa pertanyaan sebagai panduan untuk menuju ke arah Islamisasi ilmu tersebut, yaitu; 1) apakah makna mengislamkan ilmu, 2) apakah ilmu pengetahuan itu bersifat possible, 3) apakah semua ilmu pengetahuan itu dipelajari atau sebagiannya bawaan sejak lahir, 4) apakah sumber-sumber ilmu pengetahuan itu dan 5) apakah metode ilmiah itu. Berdasarkan pertanyaanpertanyaan ini, maka jawaban-jawaban terhadapnya bisa lebih sistematis.
Beliau juga berpandangan, bahwa ilmu pengetahuan masa kini adalah ilmu pengetahuan yang berada dalam kerangka filsafat atheis materialis di Barat, yang memungkinkan bagi umat Islam untuk mengislamkannya. Untuk itu, Idris mengusulkan agar meng-Islamkan ilmu pengetahuan dengan cara meletakkannya di atas pondasi Islam yang kuat dan mempertahankan nilai-nilai Islam dalam pencarian ilmu pengetahuan[42].

C.  Sejarah dan Perkembangan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Nourouzzaman Shidiqi, membagi periodisasi Islam ke dalam tiga periode, yaitu ; Periode klasik (650 – 1250 M), periode pertengahan (1250 – 1800 M) dan periode Modern (1800 – sekarang)[43]. Periode klasik merupakan periode di mana agama Islam dan kaum Muslimin mengalami masa-masa keemasan. Dalam hal peradaban dan ilmu pengetahuan kaum Muslimin mengalami kemajuan terutama pada masa daulah Abbasiyah. Pada zaman ini ilmu pengetahuan berkembang pesat. Banyak buku-buku berbahasa yunani & persi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan muncul ulama-ulama yang ahli dalam berbagai bidang; Hadits, Fiqh, teologi, matematika, fisika, kimia dan geografi. Pada periode pertengahan, dapat dibagi ke dalam dua zaman, yaitu ; zaman kemunduran dan zaman tiga kerajaan besar[44]. Sedangkan periode modern, merupakan periode yang oleh Harun Nasution disebut sebagai zaman kebangkitan (kembali) Islam[45].
Pada masa dimana umat Islam mengalami kemunduran (1250 – 1800 M) peradaban Eropa bangkit dalam segala hal yang disebut dengan enlightment dan Renaesance, mereka menilai segala sesuatu melalui nalar, segala sesuatu harus bisa dirasionalkan. Perlahan-lahan peradaban barat (eropa) mulai bangkit dan berkembang, dengan melepaskan diri dari doktrin agama (kristen). Mereka menguasai dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan di berbagai bidang; pendidikan, politik, social, ekonomi, dan sedikit demi sedikit mengambil (mencaplok) berbagai ilmu pengetahuan yang sebelumnya sudah dikuasai dan dikembangkan oleh kaum Muslimin.
Sesungguhnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan sebagai sebuah gerakan (pada tataran pelaksanaan) sudah muncul sejak dinasti Abbasiyah dengan dipelajari dan dikembangkannya berbagai ilmu pengetahuan serta diterjemahkannya berbagai buku-buku yang berisi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat ke dalam bahasa Arab. Namun pada saat itu kaum muslimin tidak menggunakan label-label Islam, karena ilmu pengetahuan pada saat itu masih dikuasai dan dikembangkan oleh kaum muslimin.
Setelah sekian lama bangsa barat (eropa) menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, maka seiring dengan itu ilmu pengetahuan semakin kehilangan ruhnya, semakin jauh dengan nafas Islam karena mereka memisahkan antara agama dengan Ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menurut mereka adalah bebas nilai (veleu free), tidak terikat dengan apapun. Ilmu adalah ilmu dan agama berada di luar yang lain dari ilmu itu sendiri.
Melihat kondisi seperti itu, pada tahun 1930-an, Muhammad Iqbal menegaskan akan perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan. Iqbal menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan oleh Barat telah bersifat ateistik, sehingga bisa menggoyahkan akidah umat, untuk itu Iqbal menyarankan umat Islam agar mengonversikan ilmu pengetahuan modern. Akan tetapi, Iqbal tidak melakukan tindak lanjut atas ide yang dilontarkannya tersebut. Tidak ada identifikasi secara jelas problem epistimologis mendasar dari ilmu pengetahuan modern Barat yang sekuler itu dan juga tidak mengemukakan saran-saran atau program konseptual atau metodologis untuk mengonversikan ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu pengetahuan yang sejalan dengan Islam[46].
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini dimunculkan kembali oleh Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun 60-an. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968) dan Islamic Science (1976)[47]. Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide Islamisasi Ilmu yang muncul kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang pernah dilontarkannya.[48]
Gagasan Islamisasi Ilmu juga disampaikan oleh Syed M. Naquib al-Attas. Beliau menyampaikan ide tersebut pada Konferensi dunia tentang Pendidikan Islam yang Pertama pada tahun 1977 di Makkah. Al-Attas dianggap sebagai orang yang pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”. Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam; A Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980). Konferensi inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit proses Islamisasi Imu selanjutnya. 
Selain itu, secara konsisten dari setiap kesempatan, al-Attas menyampaikan tantangan besar yang dihadapi Islam pada saat ini, yaitu ilmu pengetahuan yang telah kehilangan tujuannya. Menurut al-Attas, Ilmu Pengetahuan yang ada saat ini adalah produk dari kebingungan skeptisme yang meletakkan keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi “ilmiah” dan menjadikannya sebagai alat epistemologi yang valid dalam mencari kebenaran.[49] Selain itu, ilmu pengetahuan masa kini dan modern, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat. Jika pemahaman ini merasuk ke dalam pikiran elite terdidik umat Islam, maka akan sangat berperan timbulnya sebuah fenomena berbahaya yang diidentifikasikan oleh al-Attas sebagai “de-Islamisasi pikiran-pikiran umat Islam”.[50] Oleh karena itulah, sebagai bentuk keprihatinannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan ia mengajukan gagasan tentang “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini” serta memberikan formulasi awal yang sistematis yang merupakan prestasi inovatif dalam pemikiran Islam modern.
Untuk merealisasikan ide Islamisasi Ilmu, Al-Attas sebagai penggagas menunjukkan suatu model usaha Islamisasi ilmu melalui karyanya, The Concept of Education in Islam. Dalam teks ini al-Attas berusaha menunjukkan hubungan antara bahasa dan pemikiran. Al-Attas menganalisis istilah-istilah yang sering dimaksudkan untuk mendidik seperti ta'lim, tarbiyah dan ta'dib. Pada akhirnya, al-Attas mengambil kesimpulan bahwa istilah ta'dib merupakan konsep yang paling sesuai dan komprehensif untuk pendidikan.
Gagasan awal dan saran-saran konkrit yang disampaikan al-Attas pada saat konferensi Islam tentang Pendidikan Islam pertama di Makkah tahun 1977, mengundang berbagai reaksi dan salah satunya dari Ismail Raji al-Faruqi. Beliau, dalam upayanya merealisaikan Islamisasi Ilmu, selain menulis buku Islamization of Knowledge, beliau  pada tahun 1981 juga mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington DC.
Setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang, Islamisasi ilmu pengetahuan ini dinilai oleh beberapa kalangan belum memberikan hasil yang kongkrit dan kontribusi yang berarti bagi umat Islam. Bahkan secara lugas editor American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS) mengakui bahwa meskipun telah diadakan enam kali konferensi mengenai pendidikan Islam, yaitu di Mekkah Arab Saudi (1977), Islamabad Pakistan (1980), Dakka Afrika (1981), Jakarta Indonesia (1982), Kairo Mesir (1985) dan Amman Yordania (1990), dan berdirinya beberapa universitas yang memfokuskan diri kepada Islamisasi pendidikan, namun hingga saat ini, tugas untuk menghasilkan silabus sekolah, buku-buku teks dan petunjuk yang membantu guru di sekolah belum dilakukan.
Hal ini menurut hemat penulis terjadi akibat beberapa factor; pertama faktor social politik yang melingkupi di daerah masing-masing di mana Islam dan umat Islam hidup, ke dua Faktor perbedaan pandangan (baca ; aliran) yang dianut oleh masing-masing Negara komunitas muslim di mana dia tinggal. Dan ke tiga adalah factor Ekonomi.
Sekalipun belum memberikan hasil maksimal sebagai sebuah gerakan internasional, namun menurut hemat penulis, di beberapa tempat (Negara) upaya-upaya ke arah realisasi Islamisasi Ilmu pengetahuan sudah dilaksanakan melalui lembaga pendidikan (Islam), dan menjadi salah satu konsennya, antara lain :
1.      International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington DC, International Islamic University Malaysia (IIUM) di Kuala Lumpur, Akademi Islam di Cambridge dan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Mereka secara aktif menerbitkan jurnal-jurnal untuk mendukung dan mempropagandakan gagasan ini, seperti American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS), The Muslim Education Quarterly (Akademi Islam) dan al-Shajarah[51].
2.      Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang, dengan Integrasi Ilmunya.
3.      Beberapa pondok Pesantren (Modern) di Indonesia. Namun menurut hemat penulis arahnya belum jelas, sekalipun ide  awalnya adalah menghilangkan pikiran tentang dikotomi ilmu.
4.      Kurikulum 2013 untuk pendidikan dasar dan menengah. Oleh beberapa kalangan disebut sebagai kurikulum integrative interkonektif.







BAB III
KESIMPULAN

Islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai keislaman kedalam berbagai bidang kehidupan manusia, khususnya ilmu pengetahuan. Dengan Islamisasi ilmu pengetahuan dapat diketahui dengan jelas bahwa Islam bukan hanya mengatur segi-segi ritualitas dalam arti shalat, zakat,  puasa, dan haji melainkan juga sebuah ajaran yang mengitegrasikan segi-segi kehidupan duniawi, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi
Ide perlunya proses Islamisasi terhadap Ilmu pertama kali diungkapkan oleh Muhammad Iqbal pada tahun 1930-an, kemudian Syed Husein Nasr tahun 1960-an meskipun belum menggunakan label yang jelas. Kemudian pada konferensi pendidikan Islam pertama di Makkah tahun 1977, ide ini kembali disampaikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Ide Islamisasi Ilmu pengetahuan juga terus dikemukakan oleh Ismail Raji al-Faruqi. Untuk merealisasikan ide ini disamping melalui tulisan, beliau pada tahun 1981 di Washington DC juga mendirikan sebuah lembaga yang bernama International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington DC.
Selama  ± 30 tahun ide Islamisasi Ilmu bergulir dan sudah enam kali diadakan konferensi dalam rangka merealisasikan ide tersebut, ternyata masih belum memberikan hasil yang kongkret dan kontribusi yang berarti bagi umat Islam. Hal ini menurut hemat penulis terjadi akibat beberapa factor ; faktor social Faktor perbedaan aliran dan factor Ekonomi.
Sekalipun belum menghasilkan kurikulum baku secara Internasional, namun di beberapa tempat (Negara) sudah melakukan berbagai upaya ke arah mewujudkan Islamisasi Ilmu pengetahuan melalui dunia pendidikan, baik tingkat dasar, menengah, tingkat tinggi dan bahkan pondok pesantren.



Daftar Pustaka

Abdullah, Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003
Abd. Hakim, Atang & Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung, Remaja Rosda karya, 2007
Armas, Adnin, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, Islamia, Th II No.6, Juli-September, 2005
Armas, Adnin. Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu. ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007
Al-Faruqi, Ismail R., Islamisasion of Knowledge, terj. Anas Muhyidin, Bandung: Pustaka, 1994
Butt, Nasim, Sains dan Masyarakat Islam, Terj. Oleh Masdar Hilmy, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
Handrianto, Budi, Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modren, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005
L. Esposito, John & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Berbicara, PT. Mizan Pustaka,, Bandung, 2007
M. Armando, Nina,  Ensiklopedia Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu : Persfektif Pemikian Islam, Malang : Bayu Media, 2003
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta : Bulan Bintang, 1975
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta; UI-Press, 1985
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta  : Raja Grafindo ersada, 2012
Naquib al-Attas, Syed Muhammad, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Pinang : Penerbit Universiti Sains Malysia, 2007
__________________, Syed Muhammad,  Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur : International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 2001
__________________Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno, Bandung: Pustaka, 1981
Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Salim, Peter  & Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986
Sardar, Ziauddin, Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000
Sardar, Ziauddin, “Why Islam Needs Islamic Science”, New Scientist, Vol. 94, 1982
Shidiqi, Nourouzzaman, Tamaddun Muslim, Jakarta ; Bulan Bintang, 1986
Syadaly, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat  Umum, Bandung:  Pustaka Setia, 1997
Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22, Th. 2005
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk , Bandung : Mizan, 1998
_______________________, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 1998



[1] Lihat al-Quran surat al-Alaq 1-5
[2] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, Terj. Oleh Masdar Hilmy, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996., hal 69
[3] Lihat Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarak, Metodologi Studi Islam, Bandung, Remaja Rosda karya, 2007, hal 139. 
[4] John L. Esposito & Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Berbicara, PT. Mizan Pustaka,, Bandung, 2007, hal. 48
[5] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta : Bulan Bintang, 1975),
[6] John L. Esposito & Dalia Mogahed, ………,  hal. 49
[7] Nasim Butt, …... hal 60
[8] Peter Salim  & Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986. hal 971
[9] Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), h.373
[10] Ahmad Syadaly dan Mudzakir, Filsafat  Umum, Bandung:  Pustaka Setia, 1997. Hal 34
[11] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. hal 879
[12] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Pinang : Penerbit Universiti Sains Malysia, 2007, hlm. 13
[13] Syed Muhammad Naquib al-Attas,  Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur : International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 2001, hlm. 133.
[14] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, diterjemahkan oleh Hamid Fahmy dkk, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan, 1998, hal. 341
[15] Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat Modren, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010. hal 38-39
[16] Osman Bakar, Tawhid and Science: Essay on the History and Philosophy of Islamic Science diterj. Yulianto Liputo, Tauhid dan Sains: Essay Tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, hal 233
[17] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta  : Raja Grafindo ersada, 2012.hal 432
[18] Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22, Th. 2005, hal. 25
[19] Ummi, Islamisasi…..., hal 25
[20] Budi Hadrianto, Islamisasi Sains ; Sebuah Upaya Meng-Islamkan Sains Barat Modern, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, hal. 144-146
[21] Lihat Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung, Remmaja Rosda Karya, 2007, hal. 18
[22] Abd. Hakim & Jaih Mubarok, ……….., hal 19.
[23] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993. hal 134
[24] Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003. hal 338
[25] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno, Bandung: Pustaka, 1981. hal 195-196.
[26] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam…….., hal 197-198
[27] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam…….., hal 20
[28] Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu, Islamia, Th II No.6, Juli-September, 2005. hal 14
[29] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam ……., hal 21-22
[30] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005. Hal 35
[31] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam …….hal. 35
[32] Nina M. Armando, Ensiklopedia Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005. hal 144
[33] Harun Nasution. Ensiklopedi Islam Indonesia, hal. 243
[34] Budi Handrianto,  Islamisasi Sains……., hal 140-141
[35] Ismail R. Al-Faruqi, Islamisasion of Knowledge, terj. Anas Muhyidin, Bandung: Pustaka, 1994. hal 98-117
[36] Ismail R. Al-Faruqi, Islamisasion……., hal 118-119.
[37] M. Zainuddin, Filsafat Ilmu : Persfektif Pemikian Islam (Malang : Bayu Media, 2003), hal 160
[38] Ziauddin Sardar, Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. hal 22
[39] Ziauddin Sardar, “Why Islam Needs Islamic Science”, New Scientist, Vol. 94, 1982, hal 25
[40] Adnin Armas. Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu. ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007, hal. 15
[41] Wan Mohd Nor Wan Daud,  The Educational…….., hal. 414
[42] Wan Mohd Nor Wan Daud,  The Educational…….., 415-416
[43] Nourouzzaman Shidiqi, Tamaddun Muslim, Jakarta ; Bulan Bintang, 1986, hal. 12
[44] Atang Abd. Hakim, & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2007, hal. 139.
[45] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta; UI-Press, 1985, hal. 88
[46] Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk , Bandung : Mizan, 1998, hal. 390.
[47] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September 2005., hal 32
[48] Wan Mohd Nor Wan Daud,  Filsafat…………, hal. 402
[49] Wan Mohd Nor Wan Daud,  Filsafat…………, hal. 330
[50] Wan Mohd Nor Wan Daud,  Filsafat…………, hal 333.
[51] Adnin Armas,  Krisis ……….,hal. 33