referensi induk |
Oleh: Mabruri
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
dan sains (ilmu pengetahuan) adalah dua hal yang sangat kita perlukan dalam
menjalani kehidupan di dunia dan persiapan hidup di akhirat. Islam diperlukan
kita sebagai jalan mencapai kebahagian hidup di akhirat, sedangkan sains
diperlukan kita sebagai pegangan kita menghadapi tantangan dan memecahkan
masalah (duniawi) yang terjadi didalam kehidupan manusia .
Menggali
lebih dalam tentang wacana Islam dan sains adalah suatu hal yang mutlak, namun
menyebarkan dan memperkenalkan wacana tersebut pada masyarakat Islam adalah hal
lain yang tidak kalah pentingnya. Diskusi mengenai Islam dan sains saiat ini masih
terbatas hanya pada masyarakat akademik saja, baik agamawan maupun saintis.
Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan baru sehingga masyarakat umum bisa
memperbincangkan dan mengerti bagaimana pertautan antara Islam dan sains.
Pada
tahun 2011 dunia dikejutkan dengan terbitnya buku yang berjudul “Islam’s
Quantum Question : Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. Buku
itu dikarang oleh guru besar fisika dan astronomi, beliau dikenal dengan nama
Prof. Nidhal Guessoum, B.Sc, M.Sc, Ph.D, dalam tulisannya digambarkan beragam kecenderungan dalam wacana islam dan
sains. Disisi lain pengarang mencoba mengharmonikan iman dan nalar dengan visi
filsafat dan teologi islam yang integratif.
Tentu
hal ini akan menjadi pertualangan intelektual yang menyenangkan bagi
pemikir-pemikir islam yang ingin menemukan ide dan gagasan baru dari nidhal
guessoum. Oleh sebab itu, penulis sengaja membahas pemikiran pokok nidhal
guessoum melalui tema Rekonsiliasi
antara Tradisi Islam dan Sains Modern.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penulisan ini adalah:
1.
Bagaimanakah Profil Nidhal Guessoum?
2.
Apa Inspirasi Pemikiran Ibnu Rusyd?
3. Bagaimana Ajaran Islam tidak bertentangan dengan
Sains?
4.
Bagaimana
Analisis
Ontologi (I’jaz : sains modern dalam Al-Quran?)
5.
Bagaimana
nilai-nilai antara Islam dan
Kosmologi
C. Tujuan Pembahasan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.
Profil
Nidhal Guessoum
2.
Inspirasi Pemikiran Ibnu Rusyd
3. Ajaran Islam tidak bertentangan dengan
Sains
4.
Analisis Ontologi (I’jaz :
sains modern dalam Al-Quran?)
5.
Islam dan
Kosmologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Profil Nidhal Guessoum
Nidhal Guessoum lahir pada tanggal 6 september 1960, beliau adalah seorang guru
besar
fisika dan astronomi berkebangsaan Aljazair. Pendidikan kuliahnya dimulai
dari S1 Fisika teoritis di Universitas Sains dan Teknologi Aljazair dengan gelar B.Sc pada tahun 1982, kemudian beliau melanjutkan
Studi S2 Fisika di univesitas California Amerika serikat dengan gelar M.Sc, setelah
itu pada kampus yang sama beliau melanjutkan studi S3 Astrofisika Teoritis
dengan gelar Ph.D pada tahun 1988.[1]
Setelah ia menyelesaikan program
doktoralnya, ia menghabiskan dua
tahun sebagai peneliti di NASA Goddard USA (1988-1990), kemudian beliau
meneruskan karirnya sebagai dosen di Universitas Blida Aljazair (1990-1995),
lalu ia pindah ke Kampus Studi Teknologi Kuwait (1995-2000) dan pada akhirnya
ia berlabuh di Universitas Amerika UEA (2000-Sekarang). Selain itu, dia juga
sering mengisi kuliah internasional di kuliah internasional di banyak universitas terkenal seperti Cambridge, Oxford,
Cornell, dan Wisconsin.[2]
Minat penelitiannya tidak jauh dari
astrofisika gamma-ray, seperti pemusnahan positron-elektron, garis gamma-ray
nuklir, dan ledakan sinar gamma, astronomi Islam, yaitu visibilitas bulan
sabit, kalender Islam, dan masih banyak lainnya. Selain karya akademis, ia menulis tentang isu-isu
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, dunia Arab, dan Islam. Dia
juga sering muncul
berkali-kali di media internasional, termasuk Al-Jazeera, BBC, NPR, Prancis 2,
Le Monde, dan lain-lain.[3]
Pada
tahun 2003 ia mendapatkan sebuah Academic Award atas penelitiannya di bidang
sains, Engineering dan Arsitektur dari universitas California. Guessoum juga
tercatat sebagai anggota organisasi internasional seperti IAU (International
Astronomical Union), ICOP (Islamic Crescents Observation Project)
dan ISSR (International Society for
Science and Religion).
B. Inspirasi Pemikiran Ibnu Rusyd
Prof Nidhal mengutip karya monumental
Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal bain al-Hikmah wa al-Syari'ah min Ittishal (wacana pamungkas tentang keselarasan agama dan filsafat. Bahwa syariah, wahyu tidak boleh dipertentangkan dengan sains, dan
ilmu pengetahuan. Agama dan sains ibarat saudara sesusuan (a'ni anna al-hikmah
hiya shahibat al-syari'ah, wa al-ukhtu al-radhi'ah).[4] Didalamnya karyanya tercatat ibnu rusyd menyajikan
sebuah teori yang sederhana bahwa seseorang mencari yang mencari kebenaran dari
agama dan filsafat tidak akan menemukan sesuatu yang bertentangan dari
keduanya.[5]
Ibnu rusyd dengan tegas
mengatakan bahwa melalui ayat-ayat suci Al-quran dan hadist nabi, seseorang
dapat menemukan pernyataan-pernyataan yang dapat diinterpretasi dengan benar.
Sementara itu dengan filsafat ia menekan dengan kesimpulan bahwa akal juga bisa
mencapai kesimpulan yang benar dengan metode yang cermat dan hati-hati. Dengan
kata lain sebagaimana yang tampak dalam kalimat sederhana yang abadi ,
“Kebenaran (wahyu) tidak dapat bertentangan dengan kebijaksanaan (filsafat),
sebab keduanya saling menguatkan dan mendukung.
Berdasarkan pemikiran ibnu
rusyd diatas, Prof Nidhal kecewa melihat perkembangan
ilmu dan sains dalam Islam sekarang. Bahkan pengetahuan para mufassir al-Qur'an juga menjadi
sorotannya. Sangat menyedihkan persoalan i'jaz al-'ilmy dalam studi al-Qur'an
masih berkutat pada masalah abad tengah. Seperti mujarrabnya air yang telah
dido'akan dengan ayat-ayat tertentu, mencari hikmah di balik air cuka
berdasarkan hadis Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama, dst. Demikian
terbelakangnya pemahaman sains al-Qur'an yang sering mewarnai perdebatan para
sarjana muslim sekarang. Prof Nidhal memberi solusi alternatif untuk perombakan
kurikulum pendidikan di dunia Islam, dan negara-negara arab khususnya.
Pertanyaan-pertanyaan krusial yang harus segera dijawab antara lain:
a. Apakah sains modern bertentangan dengan al
Quran. Apakah sains modern justeru akan menjauhkan kita dari Tuhan?
b. Apakah teori evolusi Darwin berkesesuaian
dengan al Quran dan Sunnah? Bagaimana dengan pembacaan kita terhadap ayat-ayat
al Quran bahwa Adam dan Hawa adalah manusia pertama. Proses penciptaannya
sebagaimana tafsir-tafsir klasik menyebutkan bahwa Adam dan Hawa diciptakan
bukan seperti proses evolusi Darwin. Keyakinan kita berdasarkan pembacaan yang
demikian itu, apakah kebenarannya sudah pada tingkat qath'iy. Ataukah al syakk,
kebenaran yang penuh dengan keragu-raguan. Atau temuan-temuan sains modern yang
dipahami secara benar akan memperkuat keyakinan kita. Bahwa alam raya yang
sangat rumit ini tentulah ada yang maha pencipta, yang maha Kuasa, yang
maha Agung.
c. Mengapa sains modern dan agama terkadang tampak
bentrok? Karena kebodohan kita terhadap sains itu. Di sinilah pentingnya
mengubah kurikulum tadi agar sains modern dengan Islam bisa lebih akur. Ada
lagi yang berpendapat lain. Bahwa al Quran bukanlah kitab sains dan kitab
ilmiyah. Al Quran hanya memuat isyarat- isyarat sains dan ilmiyah. Al Quran
sesungguhnya merupakan kitab etika yang memuat panduan moral manusia agar
selamat di dunia dan akhirat. Hati- hati terhadap program integrasi sains dan
agama. Jangan- jangan hanya akan menghambat perkembangan ilmu. Sebab, "kebenaran
ada di luar sana".
Bagi Nidhal, kurikulum dibuat untuk diberikan kepada mahasiswa.
Kurikulum yang memuat seluruh teori-teori sains. Dengan demikian, mereka bisa
memahaminya dan mengoreksinya. Dengan jalan ini Islam dan sains modern akan
akur. Sejarah dan filsafat sains diajarkan kepada siswa SMA dan para mahasiswa.
Antara saintis dan agamawan perlu berkolaborasi dan menerbitkan buku-buku
sains. Singkatnya, kurikulum harus dirombak total. Untuk mencetak inovator dan
saintis muslim sebagaimana yang telah dicapainya semasa renaisan Islam. Sebab,
bagaimanapun, jika para saintis tidak lagi mengindahkan refleksi metafisika dan
spiritual, berarti mereka telah sengaja memisahkan diri dari masyarakat.
C.
Ajaran Islam tidak bertentangan dengan Sains
Wacana
yang berkembang dalam islam dimulai dengan kajian mengenal allah. Dalam
kesadaran umat islam pada umumnya, Keberadaan allah dianggap sudah jelas
sehingga jarang sekali ada diskusi yang membahas keberadaan-Nya. Selama
beberapa periode yang cukup panjang, para ulama berpandangan bahwa manusia
dapat mengenal Allah secara fitrah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran yang
menegaskan hal tersebut[6].
Peneliti lain, Qomarul huda menegaskan bahwa Al-Quran
bukanlah risalah tentang Allah dan sifat-Nya, melainkan pengingat umat manusia
tentang rahmat Allah yang tak terbatas,
Allah sebagai pencipta, penopang alam dan semesta dan manusia, dan pemberi bimbingan
kepada ciptaan-Nya.[7]
Al-Quran bukanlah
sebuah risalah tentang Tuhan sedangkan
ayat-ayatnya seringkali sangat alegoris (bersifat kiasan), lalu
bagaimana ummat bisa mengenal Allah? Bagaimana dengan hadis? Jika dilihat Al-Quran
dan Hadis menekankan pengetahuan
tentang Allah melalui 99 nama-Nya yang
bisa menjadi cara efektif bagi manusia untuk mengetahui lebih mendalam tentang Tuhan
yang Maha Tahu dan Maha Kuasa.
Nidhal Guessoum menyimpulkan pengaruh Filsafat dan sains
modern terhadap konsep tuhan dalam beberapa poin berikut :[8]
a.
Reformasi
Protestan membuat agama semakin sedikit menggunakan akal dan cenderung berpijak
pada keimanan murni
b.
Pencerahan
memposisikan tuhan sebagai asumsi yang tidak niscaya dan seandainya pun dianggap niscaya ia tidak
dihubungkan dengan dunia, sehingga memunculkan konsep Deisme.
c.
Darwinisme menunjukan bahwa sifat semua makhluk ciptaan
bisa dijelaskan secara baik dengan cara alamiah, dengan menghilangkan gagasan
tentang sang perancang.
d.
Kosmologi modern
tampaknya mengangkat
kembali gagasan mengenai peristiwa penciptaan, sehingga kebutuhan terhadap sang
pencipta semakin jelas.
e.
Fisika modern
(Mekanika Kuantum) menghancurkan determinisme
fisika klasik dan membuka pintu untuk level-level realitas yang lain dan
tindakan ilahiah.
Guessoum juga mengatakan bahwa dengan mengakui berbagai
ketidak kemungkinan untuk memahami dan menggambarkan tuhan secara memadai. Banyaknya
jalan yang bisa ditempuh menuju pada-Nya. Dan kendala-kendala rasional dalam
filsafat dan sains seputar konsep tuhan, pertanyaannya yang muncul kemudian adalah : bisakah kita mencoba beberapa jenis
sintesis atau setidak-tidaknya beberapa titik temu yang bisa diadopsi bersama
oleh para pemeluk kepercayaan (termasuk ummat Islam)?[9]
Penekanan terhadap posisi penciptaan ini bukanlah
semata-mata aspek yang dibutuhkan dalam
“mendefinisikan” Tuhan, melainkan juga suatu hal yang secara otomatis mencakup
sifat-sifat fundamental lainnya (tidak
terbatas, mutlak, maha kuasa, maha tahu dll). Penekanan tersebut juga memungkin
adanya ketergantungan dunia pada-Nya, yang nantinya akan mengiring pada konsep
islam. Disisi lain, penekanan ini juga menyisakan pertanyaaan mengenai
bagaimana penciptaan dilakukan dan bagaimana dunia, kehidupan dan manusia
berevolusi. Semua pertanyaan tersebut menggiring pada penyikapan hakikat
“tujuan” di balik Penciptaan. Maka jelaslah bahwa pertanyaan mengenai Allah
berhubungan erat dengan sains (dan filsafat).
Guessoum berpendapat posisi dan pengaruh Al-Quran luar
biasa terhadap kehidupan dan pemikiran umat islam. Oleh sebab itu dia
menekankan :[10]
a.
wacana seputar
sains dan agama seringkali diwarnai referensi Al-Quran
b.
wacana logis
yang berkembang dalam sains dan islam seringkali diterima dengan baik oleh kaum
awam dan dan kaum elite, karna Al-Quran mampu myerap ide-ide tersebut jika
memang sepenuhnya tidak kompatibel (antara Al-Quran dan sains)
c.
Al-Quran dapat
dicapai dengan pendekatan hermeneutik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan
dan tradisi islam.
Al-Quran yang berulang-ulang merangsang perhatian kita
terhadap fenomena fisik dunia yang secara umum bisa diprediksi. Apalagi Al-Quran juga terus mendorong manusia untuk
tidak berhenti merenung dan mencari. Muhammad Hasyim Kamali menganggap
observasi ilmiah, pengetahuan eksperimental dan rasionalitas sebagai instrument
utama dalam melaksanakan misi didunia yakni sebagai khalifah. Dengan merujuk
kepada Muhammad Iqbal (filsuf India) kamali menambahkan bahwa Al-Quran telah
menuntun lahirnya “kecerdasan induktif” sebab ia memungkinkan ummat muslim yang
berpedoman padanya untuk menguasai metode induktif dalam mengungkap hukum-hukum
alam dan kemasyarakatan.[11]
Namun konsep sains dalam pengertian modern memang tidak mudah
ditemukan dalam Al-Quran atau sebagian besar warisan islam klasik. Akan tetapi,
ada pengetahuan yang telah berkembang dalam Al-Quran. Kekacauan dalam konsep
tersebut sudah sering dirasakan oleh para pemikir dan pendidik muslim, bahkan
kata ‘ilmu selalu disepadankan dengan sains meskipun cukup jelas bahwa kata itu
awalnya merujuk pada pada jenis pengetahuan yang kemungkinan besar adalah
pengetahuan agama. Hal inilah yang pada akhirnya kontroversi berkepanjangan,
khususnya antara para tradisionalis dan reformis mengenai kemungkinan (atau
ketidak mungkinan) mempertemukan Al-Quran dan sains dalam kasus tertentu,
dengan berbagai kemungkinan definisinya mulai dari sains sakral hingga
“pengetahuan tradisional, sains islam dan (versi teistik) sains barat.
Guessoum menganjurkan untuk menolak semua posisi ekstrem, dan menekankan keragaman bacaan dari sebagian
besar ayat Al-Quran, yakni pendekatan yang memungkinkan adanya interpretasi
cerdas terhadap ayat-ayat Al-Quran dengan berbagai instrumen, termasuk
pengetahuan ilmiah. Guessoum berpendapat bahwa pendekatan selaras dengan sikap
para sarjana islam yang paling cerdas, mulai dari ibnu rusyd (averroes) hingga
muhammad Thalbi.[12] Thalbi
mengatakan dalam tulisannya bahwa pembacaan, penafsiran dan perenungan terhadap
Al-Quran dalam sains yang dimiliki disni dan
saat itu adalah sebuah taradisi yang berkelanjutan dalam islam. Bahkan
setiap pendekatan Al-Quran harus memperhitungkan fakta bahwa dengan terus-menerus
membaca tanda-tanda yang bisa diperhatikan, maka pewahyuan yang terus menerus diungkapkan adalah
konkruen dengan hasil pengamatan
terhadap alam semesta. Al-Quran menyuruh kaum muslim untuk mengamati dan
membaca. Namun bagaimana umat islam bisa
mengamati dan membaca tanpa sains?[13]
Singkatnya, menurut gusessoum karena Al-Quran tidak dapat
diubah menjadi sebuah ensiklopedi apapun, setidak-tidaknya untuk semua ragam
sains, maka selalu harus diingat bahwa jika Al-Quran diseriusi dan dikaji
sedemikian rupa, prinsip-prinsip Rusydian
tentang ketidakmungkinan adanya konflik (antara firman dan karya
tuhan) harus dijunjung tinggi. Dalam
praktiknya, prinsip ini dapat berubah menjadi pendekatan tanpa penolakan atau tanpa oposisi ketika seseorang dapat meyakinkan
masyarakat islam mengenai sesuatu gagasan
tertentu, bukan dengan membuktikan bahwa teori itu ditemukan dalam Al-Quran, tetapi dengan menunjukkan
bahwa sebuah pembacaan dan interpretasi
cerdas terhadap ayat-ayat tertentu telah menghasikan kesimpulan yang
sepenuhnya konsisten dengan teori ilmiah tertentu yang relevan.
Guessoum menuturkan ada kesalahpahaman masyarakat mengenai
sains baik sebagai pengetahuan dasar maupun sebagai metodologi semakin
diperparah oleh laporan lain dari masyarakat arab-muslim dan dunia pada umumnya. Oleh sebab itu ia menekankan, bahwa gagasan
mengenai falsifiabilitas merupakan konsep paling tajam untuk mendefinisikan dan
menggaris bawahi sifat aktivitas ilmiah. Sayangnya, kebanyakan orang awam dalam
kalangan terdidik, terutama di kalangan muslim, cenderung menghindari konsep
tersebut.[14]
Sains akan selalu memilki efek kuat terhadap pandangan
dunia dan keyakinan umum masyarakat. Karena alasan ilmiah sains harus
diperlakukan hati-hati dengan makna filosofis; metode-metode dan
batasan-batasannya juga harus dipahami dan digambarkan dengan jelas sehingga
tidak menimbulkan pandangan teknokratis murni atau pandangan materialistik sederhana
terhadap sains. Sayangnya, ilmuan-ilmuan
pada umumnya dan muslim pada khususnya
cenderung tidak menyadari filsafat sains
dan konflik antara keduanya karena memang sangat sedikit universitas
yang mewajibkan mahasiswa sains dan teknologi mengambil mata kuliah filsafat atua sains.
D.
Analisis Ontologi (I’jaz : sains modern dalam
Al-Quran?)
Ada beberapa beberapa aliran pemikiran yang dapat diidentifikasi
dalam lanskap kebudayaan muslim terkait dengan sains dari aliran yang sangat
mistis (aliran Gnostik nasir, pendekatan tradisional dan sakral dalam
pengetahuan dan sains) hingga yang sekuler, universalis dan konvensionalis
(penekanan salam dan hoodbhoy bahwa sains
bersifat universal dan objektif
serta tidak ada sains islam, sains cina atau sains jepang).
Sains islam ala sardar (mazhab Ijmali) yang berasumsi bahwa sains islami bisa menjadi universal meskipun ia
terinspirasi dari prinsip-prinsip islam . model aliran ijmali meski hanya
berhasil mencapai kemajuan sederhana dengan melampaui prinsip-prinsip umum, dan
mengawali rumusan serius terhadap disiplin-disiplin ilmu baru telah
membuktikan beberapa janjinya kendati
belum membumi dan konsepnya belum kuat. Bagaimanapun hal ini tidak dapat
dianggap remeh dan naif.[15]
Kritik yang mungkin dapat ditunjukkan kepada sardar secara
khususnya adalah kritiknya terhadap sains modern, terutama dalam metode
kekerasan dan standar tak etis. Sardar
berkali kali menyebut kasus pembedahan makhluk hidup sebagai contoh
kekerasan sains modern dan metode yang
amoral. Saking seringnya mengutip contoh ini, sardar tidak memiliki contoh lain
guna memperkuat argumennya, disisi contoh lainnya, yakni pernyataannya : “
bagaimana bisa memerangi kekerasan
intrinsik yang begitu tampak dalam pembedahan makhluk hidup dan fisika teoritis
eksperimental dalam sains modern ?[16] dengan kata lain, ia menganggap eksperimen
fisika energy tinggi yang menggunakan
berkas-berkas partikel subatom dalam
kecepatan-kecepatan energy tinggi serta
bertabrakan berkas–berkasnya tersebut
dengan target partikel adalah
bukti lain kekerasan modern. Guessoumpun meragukan jika ada fisikawan yang
pernah menyatakan keprihatinan etis
eksperimen semacam itu dalam mempelajari berbagai partikel dan interaksi
subatom. Dan meskipun ada yang menilai
pembedahan terhadap makhluk hidup sebagai hal yang amoral, dia mengira pandangan ini minoritas. Guessoum akan
mempertanyakan apakah metode pembeddahan dalam biologi ini bisa dijadikan isu inti yang bercirikan
sains modern.
Sardar cenderung berlebihan dalam penilaiannya. Guessoum
tidak setuju dengan pandangannya bahwa metode ilmiah jauh dari sikap objektif
dan bahwa sebagian besar ilmuan secara tanpa sadar menyusupkan prasangkanya kedalam penelitian
yang mereka lakukan. Akan tetapi guessoum berani mnegatakan bahwa “pengamatan yang
bebas-bias itu adalah sebuah mistos”.[17] Guessoum juga
tidak menyetujui pandangannya yang mengatakan bahwa ilmuan sering memodifikasi
observasinya dengan memasukkan ide-ide dan prasangka, nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat mereka. Bahkan , bukan hanya observasi yang berpotensi
demikian; eksperimentasi juga tidak bisa dilakukan dalam sesuatu kekosongan
budaya (cultural Vacum).[18] Sebenarnya
efek budaya dapat diminimalkan dengan melakukan eksperimen dan observasi
berulang-ulang ditempat dan waktu yang berbeda. Pernyataan sardar berikut juga
tidak kalah ekstrem :
Bukanlah kebetulan bahwa sains tidak bisa dilepaskan dari
represi dan dominasi. Keduanya merupakan produk langsung dari epistemology
rasionalislik, seperti halnya newton, Darwin, freud , Bf Skinner, dan Edward
Wilson merupakan anak kandung dari epistemology yang sama, darwinisme sosial, sosiobiologi dan cadangan
senjata nuklir yang bisa menghancurkan
bumi berkali-kali adalah hasil logis dari epistemology rasionalitas
instrumental.[19]
Guessoum memahami walau tidak harus setuju dengan kritik
sardar mengenai Darwin, freud dan Edward Wilson, tetapi lompatan dari
newton kesenjata nuklir dan dari Darwin ke darwinisme sosial benar benar berlebihan. Terlebih lagi
menganggap semua kebiadaban dan dampak
buruk teknologi modern sebagai hasil
logis dari epistemology rasionalitas
instrumental adalah hal yang sangat tidak masuk akal.[20]
Sebuah kritik lain terhadap konsepsi aliran ijmali tentang
sains adalah bagaimana mereka membayangkan masyarakat bisa mengarahkan sains;
bagaimana seetiap warga masyarakat dapat diarahkan untuk bisa berpartisipasi
dalam perdebatan tentang sains. Sardar mengatakan “ Sains islam (dibangun)
untuk dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada tuhan juga kepada masyarakat.[21] Ia mengupas
demokratisasi sains bukan dalam makna bahwa sains bisa diserahkan kepada orang
awam yang tidak terlatih, tetapi dalam makna bahwa “ sains dibawa keluar dari
laboratorium, dan dibicarakan dalam debat publik sehingga masyarakat dapat ambil
bagian dalam dampak sosial dan budaya dari sains.
Pada sisi lainnya, sardar juga sering melontarkan agar
konsep ijmali dalam islam diperluas, hak untuk ijtihad (upaya untuk melakukan
inovasi pemikiran) diberikan kepada setiap muslim, termasuk kaum awam
sekalipun.[22] Guessoum
mendukung sepenuhnya untuk membuka pintu ijtihad, tetapi bukan untuk semua
orang,. Tidak ada kaum muslim terdidik atau cendikiawan menyepakati aturan main yang menetapkan bahwa
setiap orang memiliki hak (yang sama) dalam perdebatan semacam itu. Ijma’ dalam
tradisi islam bisa disepadankan dengan peer
review dalam tradisi ilmiah, sebab
keduanya memiliki fungsi yang sama . pada akhirnya, Guessoum memberikan catatan
bahwa semua tentang sains islami itu berasal dari barat.
Dua gagasan besar guessoum dalam bukunya yaitu konsep
tuhan dalam islam (dan bagaimana hubungannya dengan sains) dan posisi serta pengaruh Al-Quran yang
merasuk dalam kehidupan dan fikiran umat muslim. Gagasan ini ditunjukkan untuk
:[23]
a. Wacana sains dan
agama dikalangan umat muslim cenderung dipenuhi
oleh berbagai referensi ayat Al-Quran.
b. Penekanan yang berlebihan terhadap ayat ayat Al-Quran dapat
menyebabkan distorsi berbahaya dan bergesernya wacana kepada persoaan mu’jizat
ilmiah Al-Quran.
c. Wacana sains dan islam yang rasional dan kredibel bisa
diterima dengan baik oleh masyarakat umum maupun elite, makanya dipastikan
adaanya penerimaan terhadap Al-Quran jika bujkan keselarasan penuh dengan
ide-ide yang dibahas dan menekankan fakta bahwa Al-Quran dapat dibaca dan
ditafsirkan secara rasional setidak tidaknya dengan satu diantara pendekatan
yang bisa menyajikan sudut pandang yang juga rasional.
Memang diakui bahwa kitab suci berulang-ulang memancing
perhatian pembacanya kepada prediksi umum mnegenai fenomena dunia fisik ,
seperti dalam surat Al-Rahman (55: 5-7) :
لَّهُ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَإِلَى اللَّهِ
تُرْجَعُ الْأُمُورُ ﴿٥﴾ يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ ۚ وَهُوَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
﴿٦﴾ آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم
مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ ۖ فَالَّذِينَ آمَنُوا
مِنكُمْ وَأَنفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ ﴿٧﴾
Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan
kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. Dialah
yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan
Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar.
Itulah alasan mengapa Al-Quran terus-menerus mendorong
manusia untuk mengamati, merenungkan dan
mencari.
Guessoum juga meyampaikan gagasannya bahwa meskipun
Al-Quran memuat banyak perintah kepada manusia untuk mengamati dan
merefleksikan fenomena alam dan
hubungannya dengan sang pencipta, banyak orang yang masih kesulitan saat
menghubungkan konsep sains modern dengan
wacana Qurani. Memang konsep sains dalam pengertian modern tidak bisa ditemukan
secara mudah didalam Al-Quran atau di
sebagian besar warisan klasik muslim, sebab konsep pengetahuan sudah
berkembang. Perbedaan yang
sebenarnya tampak subtil ini tidak
menjadi bahan kajian bagi sejumlah besar pemikir dan pemerhati muslim; bahkan
kata ilmu sekarang saat ini sering
digunakan untuk merujuk sains meskipun cukup jelas kata tersebut pada awalnya
lebih bermakna pengetahuan dalam arti yang lebih luas. Hal inilah yang
menyebabkan perbedaan pendapat yang tajam antara kaum tradisionalis dan
reformis mengenai kemungkinan melihat kasus-kasus dalam AlQuran dari kaca mata
sains dengan berbagai definisi sains yang ada, mulai dari sains yang sakral
(scared science) hingga sains islami (Islamic science) dan bahkan I’jaz ilmiah
(Science I’jaz).[24]
Meskipun Al-Quran tidak dapat diubah menjadi ensikolopedi apapun,
termasuk ensiklopedi semua jenis sains, harus dingat bahwa jika Al-Quran dibaca
dan dikaji dengan serius dan penuh hormat, maka resep hermeneutika dan prinsip rusdian (averroes) mengenai
ketidak kemungkinan pertentangan (antara firman dan karya tuhan ) haruslah
dijunjung tinggi. Dalam prakteknya prinsip ini dapat diubah menjadi pendekatan
tanpa keberatan atau tanpa oposisi yang memungkinkan kita meyakinkan masyarakat
muslim mengenai gagasan tertentu bukan dengan membuktikan bahwa teori tersebut
dapat ditemukan dalam Al-Quran yang benar-benar konsisten dengan teori
tersebut.
E.
Islam dan Kosmologi
Selama era keemasan peradaban islam , Al-Quran menjadi
sumber primordial dan referensi untuk berbagai informasi dan doktrin mengenai
kosmik. Akan tetapi para pemikir muslim menyadari bahwa Al-Quran terlalu ambigu
dan ambivalen untuk membangun teori kosmologi yang rigid. Apalagi ketika itu
filsafat helenistik sangat mempengaruhi para pemikir muslim dan telah diserap
sedini mungkin (abad ke-9). Akan tetapi alih-alih mengulangi teori-teori yunani
kuno, bangunan kosmologi islam justru merupakan lukisan yang kaya perspektif
karna menggabungkan pandangan-pandangan budaya lain dengan prinsip-prinsip
islam.
Pada abad ke-20, mucul kegiatan pembaharuan ketika
kosmologi mulai melekat luas dengan semua agama
(dengan berbagai cara), khususnya dengan dunia islam, dalam budaya yang
menempatkan Al-quran sebagai sumber-sumber referensi terpenting tersebut,
hasil-hasil temuan ilmiah hamper selalu
dibandingkan dengan teks-teks sakral, sehingga mulai muncul kosmologi yang cenderung masih amatir, karena secara
bebas menggabungkan sains dan teks keagamaan dalam lanskap kebudayaan.
Selanjutnya pada awal millennium ketiga dan setelah
revolusi ilmiah modern terjadi, masih bisakah digelar diskusi seputar kosmologi
yang terbukti berutang banyak pada ilmu fisika pada perspektif agama dan
menyajikan kosmologi islami? Bisakah ada sebuah kosmologi islam, kosmologi
yahudi, atau kosmologi hindu, bukankah sains modern telah menutup pintu kekacauan
semacam ini?
Sebagaimana yang dipertahankan primack dan Abraham :
kosmologi-kosmologi budaya tradisional memang tidak benar secara factual,
tetapi kosmologi ini menawarkan petunjuk bagaimana hidup dengan rasa
kepemilikan terhadap dunia.[25] demikian pula
pembahasan mengenai kosmologi islam mungkin berguna bahkan diperlukan saat ini
mengingat krisis indetitas yang tampaknya akan dialami oleh dunia timur,
khususnya setelah metodologi barat mendominasi bidang penelitian dan
globalisasi budaya. Para penentang
kecenderungan ini mendukung rumusan dari berbagai tokoh tentang adanya budaya
mereka sendiri dan bahkan sains mereka sendiri.
Meski demikian, ini bukanlah suatu alasan guessoum membela
sudut pandang kosmologis yang sepenuhnya konsisten dengan teori-teori modern
dan prinsip-prinsip agama. Bagaimanapun kosmologi dapat berlaku untuk setiap
dan semua tradisi agama meski disini guessoum hanya membahas tradisi islam
karena merupakan agamanya dan merasa harus memusatkan perhatian terhadap
cakupannya yang kaya.
Bagi guessoum, alasan utama mengapa para ilmuan dan filusuf
berkabolarasi pada proyek ambisius namun kontrovesi semacam itu adalah karena sains modern tidak
mampu menemukan makna dibalik
temuan-temuan yang dihasilkannya. Bsakah seseorang membahas singuilaritas
big bang (frasa teknis ini digunakan untuk mengganti istilah penciptaan yang
poenuh dengan muatan agama) tanpa membahas makna filosofis dan
implikasi-implikasi teologisnya? Bisakah seseorang membahas sifat hukum-hukum fisika alam
semesta lain yang terputus secara kausal dan tidak menggali maknanya? Jelas ada
banyak isu yang tidak bsia dipecahkan oleh sains namun justru menjadi bidang
tersendiri yang bisa digeluti oleh manusia.[26]
Para ilmuan semakin meyakini bahwa pendekatan ilmiah murni
terhadap kosmos tidaklah memuaskan dalam kosmologi modern , alam semesta
dianggap harus konsiten secara mandiri dan tidak memerlukan pencipta. Sains
modern juga tidak membuka ruang terhadap transendensi atau pemaknaan.
Diluar itu banyak ilmuan sains saja sudah dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan alam semesta, kehidupan dan segala
sesuatu yang lain. Akan tetapi survey yang dilakukan pada 1997 menunjukkan
bahwa sekitar 40% ilmuan amerika percaya pada tuhan, dan 45% tidak, sementara
15% sisanya adalah kaum agnostik.[27] Beberapa
ilmuan secara terbuka berpandangan bahwa pendekatan garis keras terhadap alam
dan kehidupan harus melunak agar bisa
mencakup pendekatan non-formal, termasuk agama, metafisika dan filsafat yang
dapat memperkaya pemahaman manusia mengenai berbagai isu.
Tantangan kemudian adalah bagaimana membangun sebuah
teologi yang dapat mengawinkan konsepsi-konsepsi agama Allah (sebagai tuhan
personal) dengan sebuah teologi alamiah (natural theology) yang memposisikan
tuhan da nasal mula ketertiban kosmos sebagai dasar dibangunnya alam semesta.
Yang pasti teologi tidak bisa diterima secara jelas berbenturan atau
bertentangan dengan metode-metode
rasional dan hasil –hasil ilmiah.
Meskipun guessoum jauh dari mampu untuk sekadar merumuskan
sebuah kosmologi teistik yang utuh dan konsisten. Dia percaya bahwa beberapa
sintesis yang kurang lebih setara dengan pandangan beberapa filusuf muslim abad
pertengahan.
Untuk membuat sintesis setidak-tidaknya ada perpaduan
antara prinsip –prinsip sains modern, guessoum memberikan sebuah program ganda
yang harus dilakukan :[28]
a. Merumuskan beberap teologi baru yang konsisten dengan sains
modern meskipun saisn modern sains tidak senada dengan keyakinan-keyakinan dan
teks-teks secara literal.
b. Membangun sebuah kosmologi yang tak terlalu materialistis
untuk memu ngkinkan ditemunya beberapa makna dan spirit dalam alam semesta dan
keberadaannya.
Alternatif dari pandangan ini adalah konsep neo-sufi yang
menganggap Allah dan alam semesta adalah
satu dan bahwa penciptaan berlangsung secara terus menerus karena allah tidak
pernah berhenti tajalli (mengungkapkan diri) kepada-Nya tanpa terlihat secara
langsung.[29]
Kosmologi islami tidak bisa membatasi diri pada penafsiran
ilmiah semu terhadap teks-teks suci. Kosmologi tersebut harus sedikit
menyediakan ruang bagi kreativitas dan kebebasan berfikir dalam kebudayaan islam. Guessoum
yakin kebudayaan islam mampu sebagaimana pernah menjadi ribuan tahun yang lalu
dan semestinya masih mampu menyerap pengetahuan manusia, sains, dan kemajuan
sehingga ia dapat menghasilkan sebuah sintesis menarik yang bernilai.[30]
Sebuah kosmologi modern islam/teistik yang sepenuhnya
kompatibel dengan sains menurut pendapat guessoum sangat mungkin dibangun
selama aktor intelektualnya tetap terbuka, kreatif, dan tidak kaku, baik dalam
pengetahuan religious maupun saintifiknya.
BAB III
Kesimpulan
1.
Nidhal Guessoum lahir pada tanggal 6 september
1960, beliau adalah seorang guru besar fisika dan astronomi berkebangsaan
Aljazair.
2. Penekanan terhadap posisi penciptaan bukanlah
semata-mata aspek yang dibutuhkan dalam
“mendefinisikan” Tuhan, melainkan juga suatu hal yang secara otomatis mencakup
sifat-sifat fundamental lainnya (tidak
terbatas, mutlak, maha kuasa, maha tahu dll).
3. Guessoum berpendapat posisi dan pengaruh Al-Quran luar
biasa terhadap kehidupan dan pemikiran umat islam. Oleh sebab itu dia
menekankan :
a.
wacana seputar
sains dan agama seringkali diwarnai referensi Al-Quran
b.
wacana logis
yang berkembang dalam sains dan islam seringkali diterima dengan baik oleh kaum
awam dan dan kaum elite, karna Al-Quran mampu myerap ide-ide tersebut jika
memang sepenuhnya tidak kompatibel (antara Al-Quran dan sains)
c.
Al-Quran dapat
dicapai dengan pendekatan hermeneutik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan
dan tradisi islam.
4. Konsep ijmali dalam islam diperluas, hak untuk ijtihad
(upaya untuk melakukan inovasi pemikiran) diberikan kepada setiap muslim,
termasuk kaum awam sekalipun.Guessoum memberikan catatan bahwa semua tentang
sains islami itu berasal dari barat.
5.
Sebuah kosmologi modern
islam/teistik yang sepenuhnya kompatibel dengan sains menurut pendapat guessoum
sangat mungkin dibangun selama aktor intelektualnya tetap terbuka, kreatif, dan
tidak kaku, baik dalam pengetahuan religious maupun saintifiknya
DAFTAR PUSTAKA
Jane Lapman, The Cristian Science Monitor, 9 Juli
1998.
Joel Primack and Nancy Ellen Abrams, The Viem from the Center of The Universe,
(London : Fourt estate, 2006).
Karen Armstrong, A History Of God : The 4.000 Year Quest
Of Judaism, Christianity and Islam, (New York : Ballantine Books, 1993).
Muhammad Hasyim Kamali, Islam, Rationality and Science, dalam
Islam & Science, Juni 2003.
Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern : Bagaimana
Mempertemukan Islam dengan Sains Modern?, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014).
Qomarul Huda, Knowledge of Allah and The Islamic View of
other Religion, Theological Studies, 64/2 (jun. 2003).
Sachiko Murata dan William C. Chittick, The Koran, (Paragon
House, 1994).
Suha Taji-Farouki, Modern Muslim Intelectual and the
Quran, (London : Oxford University Press, 2004).
Ziaduddin Sardar, Explorations in Islamic Science, (London
: Mansell, 1989).
--------------, Islamization of Knowledge or
Westernization of Islam, Inquiry 7 (1984).
--------------, Thomas Kuhn and the Science Wars
(London: Icon Books & Pennsylvania :Totem Books, 2000).
Referensi
Internet
https://en.wikipedia.org/wiki/Nidhal_Guessoum : diakses pada tanggal 16 November 2016
http://nidhalguessoum.org/research/
: diakses pada tanggal 16 November 2016
[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Nidhal_Guessoum : diakses pada tanggal 16 November 2016
[3] http://nidhalguessoum.org/research/
: diakses pada tanggal 16 November 2016
[5] Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern : Bagaimana
Mempertemukan Islam dengan Sains Modern?, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014), hal 18
[6] Sachiko Murata dan William C. Chittick, The Koran, (Paragon
House, 1994), pada pendahuluan Vision Of Islam XIV-XIX
[7] Qomarul Huda, Knowledge of Allah and The Islamic View of other
Religion, Theological Studies, 64/2 (jun. 2003), hal 278
[8] Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern : Bagaimana
Mempertemukan Islam dengan Sains Modern?, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014),
hal 102
[9] Nidhal Guessoum, … hal. 102
[10] Ibid., Nidhal Guessoum, … hal. 128
[11] Muhammad Hasyim Kamali, Islam, Rationality and Science, dalam
Islam & Scienc, Juni 2003
[12] Nidhal Guessoum, … hal. 129
[13] Suha Taji-Farouki, Modern Muslim Intelectual and the Quran, (London
: Oxford University Press, 2004), hal 231
[14] Nidhal Guessoum, … hal. 183
[15] Nidhal Guessoum, … hal. 243
[16] Ziaduddin Sardar, Explorations in Islamic Science, (London :
Mansell, 1989), hal 166
[17] Ibid, Ziaduddin Sardar, Explorations in Islamic Science,…,
hal 45
[18] Ziaduddin Sardar, Explorations in Islamic Science,…, hal
[19] Ziaduddin Sardar, Islamization of Knowledge or Westernization of
Islam, Inquiry 7 (1984) hal 39-45
[20] Nidhal Guessoum, … hal. 245
[21] Ziaduddin Sardar, Thomas Kuhn and the Science Wars (London:
Icon Books & Pennsylvania :Totem Books, 2000), hal 65
[22] Ziaduddin Sardar, Islamization of Knowledge or Westernization of
Islam, hal 158
[23] Nidhal Guessoum, … hal. 298
[24] Nidhal Guessoum, … hal. 299
[25] Joel Primack and Nancy Ellen Abrams, The Viem from the Center of The Universe,
(London : Fourt estate, 2006), hal 6
[26] Nidhal Guessoum, … hal. 368
[27] Jane Lapman, The Cristian Science Monitor, 9 Juli 1998.
[28] Nidhal Guessoum, … hal. 370
[29] Nidhal Guessoum, … hal. 370
[30] Ibid, Nidhal Guessoum, … hal. 370
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Saran Anda