Live

M A B R U R I-B L O G : S e l a m a t. D a t a n g. D i r u m a h. K e c i l. K a m i. S e m o g a. B l o g. I n i. B a r o k a h. U n t u k. P a r a. P e m b a c a. S e m u a n y a.

Senin, 19 Desember 2016

Nidhal Goessoum: Rekonsiliasi antara Tradisi Islam dan Sains Modern


referensi induk

Oleh: Mabruri

BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Islam dan sains (ilmu pengetahuan) adalah dua hal yang sangat kita perlukan dalam menjalani kehidupan di dunia dan persiapan hidup di akhirat. Islam diperlukan kita sebagai jalan mencapai kebahagian hidup di akhirat, sedangkan sains diperlukan kita sebagai pegangan kita menghadapi tantangan dan memecahkan masalah (duniawi) yang terjadi didalam kehidupan manusia .
Menggali lebih dalam tentang wacana Islam dan sains adalah suatu hal yang mutlak, namun menyebarkan dan memperkenalkan wacana tersebut pada masyarakat Islam adalah hal lain yang tidak kalah pentingnya. Diskusi mengenai Islam dan sains saiat ini masih terbatas hanya pada masyarakat akademik saja, baik agamawan maupun saintis. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan baru sehingga masyarakat umum bisa memperbincangkan dan mengerti bagaimana pertautan antara Islam dan sains.
Pada tahun 2011 dunia dikejutkan dengan terbitnya buku yang berjudul “Islam’s Quantum Question : Reconciling Muslim Tradition and Modern Science. Buku itu dikarang oleh guru besar fisika dan astronomi, beliau dikenal dengan nama Prof. Nidhal Guessoum, B.Sc, M.Sc, Ph.D, dalam tulisannya digambarkan  beragam kecenderungan dalam wacana islam dan sains. Disisi lain pengarang mencoba mengharmonikan iman dan nalar dengan visi filsafat dan teologi islam yang integratif.
Tentu hal ini akan menjadi pertualangan intelektual yang menyenangkan bagi pemikir-pemikir islam yang ingin menemukan ide dan gagasan baru dari nidhal guessoum. Oleh sebab itu, penulis sengaja membahas pemikiran pokok nidhal guessoum melalui tema Rekonsiliasi antara Tradisi Islam dan Sains Modern.


B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1.      Bagaimanakah Profil Nidhal Guessoum?
2.      Apa Inspirasi Pemikiran Ibnu Rusyd?
3.      Bagaimana Ajaran Islam tidak bertentangan dengan Sains?
4.      Bagaimana Analisis Ontologi (I’jaz : sains modern dalam Al-Quran?)
5.      Bagaimana nilai-nilai antara  Islam dan Kosmologi


C.  Tujuan Pembahasan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.      Profil Nidhal Guessoum
2.      Inspirasi Pemikiran Ibnu Rusyd
3.      Ajaran Islam tidak bertentangan dengan Sains
4.      Analisis Ontologi (I’jaz : sains modern dalam Al-Quran?)
5.      Islam dan Kosmologi














BAB II
PEMBAHASAN


A.      Profil Nidhal Guessoum
Nidhal Guessoum lahir pada tanggal 6 september 1960, beliau adalah seorang guru besar
fisika dan astronomi berkebangsaan Aljazair. Pendidikan kuliahnya dimulai dari S1  Fisika teoritis di Universitas Sains dan Teknologi  Aljazair dengan gelar B.Sc pada tahun 1982, kemudian beliau melanjutkan Studi S2 Fisika di univesitas California Amerika serikat dengan gelar M.Sc, setelah itu pada kampus yang sama beliau melanjutkan studi S3 Astrofisika Teoritis dengan gelar Ph.D pada tahun 1988.[1]
Setelah ia menyelesaikan program doktoralnya, ia menghabiskan dua tahun sebagai peneliti di NASA Goddard USA (1988-1990), kemudian beliau meneruskan karirnya sebagai dosen di Universitas Blida Aljazair (1990-1995), lalu ia pindah ke Kampus Studi Teknologi Kuwait (1995-2000) dan pada akhirnya ia berlabuh di Universitas Amerika UEA (2000-Sekarang). Selain itu, dia juga sering mengisi kuliah internasional di kuliah internasional di banyak universitas terkenal seperti Cambridge, Oxford, Cornell, dan Wisconsin.[2]
Minat penelitiannya tidak jauh dari astrofisika gamma-ray, seperti pemusnahan positron-elektron, garis gamma-ray nuklir, dan ledakan sinar gamma, astronomi Islam, yaitu visibilitas bulan sabit, kalender Islam, dan masih banyak lainnya. Selain karya akademis, ia menulis tentang isu-isu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, dunia Arab, dan Islam. Dia juga sering muncul berkali-kali di media internasional, termasuk Al-Jazeera, BBC, NPR, Prancis 2, Le Monde, dan lain-lain.[3]
 Pada tahun 2003 ia mendapatkan sebuah Academic Award atas penelitiannya di bidang sains, Engineering dan Arsitektur dari universitas California. Guessoum juga tercatat sebagai anggota organisasi internasional seperti IAU (International Astronomical Union), ICOP (Islamic Crescents Observation Project) dan  ISSR (International Society for Science and Religion).

B.       Inspirasi Pemikiran Ibnu Rusyd
Prof Nidhal mengutip karya monumental Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal bain al-Hikmah wa al-Syari'ah min Ittishal (wacana pamungkas tentang keselarasan agama dan filsafat. Bahwa syariah, wahyu tidak boleh dipertentangkan dengan sains, dan ilmu pengetahuan. Agama dan sains ibarat saudara sesusuan (a'ni anna al-hikmah hiya shahibat al-syari'ah, wa al-ukhtu al-radhi'ah).[4] Didalamnya karyanya tercatat ibnu rusyd menyajikan sebuah teori yang sederhana bahwa seseorang mencari yang mencari kebenaran dari agama dan filsafat tidak akan menemukan sesuatu yang bertentangan dari keduanya.[5]
Ibnu rusyd dengan tegas mengatakan bahwa melalui ayat-ayat suci Al-quran dan hadist nabi, seseorang dapat menemukan pernyataan-pernyataan yang dapat diinterpretasi dengan benar. Sementara itu dengan filsafat ia menekan dengan kesimpulan bahwa akal juga bisa mencapai kesimpulan yang benar dengan metode yang cermat dan hati-hati. Dengan kata lain sebagaimana yang tampak dalam kalimat sederhana yang abadi , “Kebenaran (wahyu) tidak dapat bertentangan dengan kebijaksanaan (filsafat), sebab keduanya saling menguatkan dan mendukung.
Berdasarkan pemikiran ibnu rusyd diatas, Prof Nidhal kecewa melihat perkembangan ilmu dan sains dalam Islam sekarang. Bahkan pengetahuan para mufassir al-Qur'an juga menjadi sorotannya. Sangat menyedihkan persoalan i'jaz al-'ilmy dalam studi al-Qur'an masih berkutat pada masalah abad tengah. Seperti mujarrabnya air yang telah dido'akan dengan ayat-ayat tertentu, mencari hikmah di balik air cuka berdasarkan hadis Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama, dst. Demikian terbelakangnya pemahaman sains al-Qur'an yang sering mewarnai perdebatan para sarjana muslim sekarang. Prof Nidhal memberi solusi alternatif untuk perombakan kurikulum pendidikan di dunia Islam, dan negara-negara arab khususnya. Pertanyaan-pertanyaan krusial yang harus segera dijawab antara lain:
a.       Apakah sains modern bertentangan dengan al Quran. Apakah sains modern justeru akan menjauhkan kita dari Tuhan?
b.      Apakah teori evolusi Darwin berkesesuaian dengan al Quran dan Sunnah? Bagaimana dengan pembacaan kita terhadap ayat-ayat al Quran bahwa Adam dan Hawa adalah manusia pertama. Proses penciptaannya sebagaimana tafsir-tafsir klasik menyebutkan bahwa Adam dan Hawa diciptakan bukan seperti proses evolusi Darwin. Keyakinan kita berdasarkan pembacaan yang demikian itu, apakah kebenarannya sudah pada tingkat qath'iy. Ataukah al syakk, kebenaran yang penuh dengan keragu-raguan. Atau temuan-temuan sains modern yang dipahami secara benar akan memperkuat keyakinan kita. Bahwa alam raya yang sangat rumit ini tentulah ada yang maha pencipta, yang maha Kuasa, yang maha Agung.
c.       Mengapa sains modern dan agama terkadang tampak bentrok? Karena kebodohan kita terhadap sains itu. Di sinilah pentingnya mengubah kurikulum tadi agar sains modern dengan Islam bisa lebih akur. Ada lagi yang berpendapat lain. Bahwa al Quran bukanlah kitab sains dan kitab ilmiyah. Al Quran hanya memuat isyarat- isyarat sains dan ilmiyah. Al Quran sesungguhnya merupakan kitab etika yang memuat panduan moral manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Hati- hati terhadap program integrasi sains dan agama. Jangan- jangan hanya akan menghambat perkembangan ilmu. Sebab, "kebenaran ada di luar sana".
Bagi Nidhal, kurikulum dibuat untuk diberikan kepada mahasiswa. Kurikulum yang memuat seluruh teori-teori sains. Dengan demikian, mereka bisa memahaminya dan mengoreksinya. Dengan jalan ini Islam dan sains modern akan akur. Sejarah dan filsafat sains diajarkan kepada siswa SMA dan para mahasiswa. Antara saintis dan agamawan perlu berkolaborasi dan menerbitkan buku-buku sains. Singkatnya, kurikulum harus dirombak total. Untuk mencetak inovator dan saintis muslim sebagaimana yang telah dicapainya semasa renaisan Islam. Sebab, bagaimanapun, jika para saintis tidak lagi mengindahkan refleksi metafisika dan spiritual, berarti mereka telah sengaja memisahkan diri dari masyarakat.
C.      Ajaran Islam tidak bertentangan dengan Sains
Wacana yang berkembang dalam islam dimulai dengan kajian mengenal allah. Dalam kesadaran umat islam pada umumnya, Keberadaan allah dianggap sudah jelas sehingga jarang sekali ada diskusi yang membahas keberadaan-Nya. Selama beberapa periode yang cukup panjang, para ulama berpandangan bahwa manusia dapat mengenal Allah secara fitrah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan hal tersebut[6].
Peneliti lain, Qomarul huda menegaskan bahwa Al-Quran bukanlah risalah tentang Allah dan sifat-Nya, melainkan pengingat umat manusia tentang rahmat  Allah yang tak terbatas, Allah sebagai pencipta, penopang alam dan semesta dan manusia, dan pemberi bimbingan kepada ciptaan-Nya.[7]
Al-Quran  bukanlah sebuah risalah  tentang Tuhan sedangkan ayat-ayatnya seringkali sangat alegoris (bersifat kiasan), lalu bagaimana ummat bisa mengenal Allah? Bagaimana dengan hadis? Jika dilihat Al-Quran dan Hadis menekankan  pengetahuan tentang  Allah melalui 99 nama-Nya yang bisa menjadi cara efektif bagi manusia untuk mengetahui lebih mendalam tentang Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Kuasa.
Nidhal Guessoum menyimpulkan pengaruh Filsafat dan sains modern terhadap konsep tuhan dalam beberapa poin berikut :[8]
a.       Reformasi Protestan membuat agama semakin sedikit menggunakan akal dan cenderung berpijak pada keimanan murni
b.      Pencerahan memposisikan tuhan sebagai asumsi yang tidak niscaya  dan seandainya pun dianggap niscaya ia tidak dihubungkan dengan dunia, sehingga memunculkan konsep Deisme.
c.       Darwinisme  menunjukan bahwa sifat semua makhluk ciptaan bisa dijelaskan secara baik dengan cara alamiah, dengan menghilangkan gagasan tentang sang perancang.
d.      Kosmologi modern  tampaknya mengangkat kembali gagasan mengenai peristiwa penciptaan, sehingga kebutuhan terhadap sang pencipta semakin jelas.
e.       Fisika modern (Mekanika Kuantum) menghancurkan determinisme fisika klasik dan membuka pintu untuk level-level realitas yang lain dan tindakan ilahiah.
Guessoum juga mengatakan bahwa dengan mengakui berbagai ketidak kemungkinan untuk memahami dan menggambarkan tuhan secara memadai. Banyaknya jalan yang bisa ditempuh menuju pada-Nya. Dan kendala-kendala rasional dalam filsafat dan sains seputar konsep tuhan, pertanyaannya  yang muncul kemudian adalah  : bisakah kita mencoba beberapa jenis sintesis atau setidak-tidaknya beberapa titik temu yang bisa diadopsi bersama oleh para pemeluk kepercayaan (termasuk ummat Islam)?[9]
Penekanan terhadap posisi penciptaan ini bukanlah semata-mata  aspek yang dibutuhkan dalam “mendefinisikan” Tuhan, melainkan juga suatu hal yang secara otomatis mencakup sifat-sifat  fundamental lainnya (tidak terbatas, mutlak, maha kuasa, maha tahu dll). Penekanan tersebut juga memungkin adanya ketergantungan dunia pada-Nya, yang nantinya akan mengiring pada konsep islam. Disisi lain, penekanan ini juga menyisakan pertanyaaan mengenai bagaimana penciptaan dilakukan dan bagaimana dunia, kehidupan dan manusia berevolusi. Semua pertanyaan tersebut menggiring pada penyikapan hakikat “tujuan” di balik Penciptaan. Maka jelaslah bahwa pertanyaan mengenai Allah berhubungan erat dengan sains (dan filsafat).
Guessoum berpendapat posisi dan pengaruh Al-Quran luar biasa terhadap kehidupan dan pemikiran umat islam. Oleh sebab itu dia menekankan :[10]
a.       wacana seputar sains dan agama seringkali diwarnai referensi Al-Quran
b.      wacana logis yang berkembang dalam sains dan islam seringkali diterima dengan baik oleh kaum awam dan dan kaum elite, karna Al-Quran mampu myerap ide-ide tersebut jika memang sepenuhnya tidak kompatibel (antara Al-Quran dan sains)
c.       Al-Quran dapat dicapai dengan pendekatan hermeneutik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dan tradisi islam.
Al-Quran yang berulang-ulang merangsang perhatian kita terhadap fenomena fisik dunia yang secara umum bisa diprediksi. Apalagi  Al-Quran juga terus mendorong manusia untuk tidak berhenti merenung dan mencari. Muhammad Hasyim Kamali menganggap observasi ilmiah, pengetahuan eksperimental dan rasionalitas sebagai instrument utama dalam melaksanakan misi didunia yakni sebagai khalifah. Dengan merujuk kepada Muhammad Iqbal (filsuf India) kamali menambahkan bahwa Al-Quran telah menuntun lahirnya “kecerdasan induktif” sebab ia memungkinkan ummat muslim yang berpedoman padanya untuk menguasai metode induktif dalam mengungkap hukum-hukum alam dan kemasyarakatan.[11]
Namun konsep sains dalam pengertian modern memang tidak mudah ditemukan dalam Al-Quran atau sebagian besar warisan islam klasik. Akan tetapi, ada pengetahuan yang telah berkembang dalam Al-Quran. Kekacauan dalam konsep tersebut sudah sering dirasakan oleh para pemikir dan pendidik muslim, bahkan kata ‘ilmu selalu disepadankan dengan sains meskipun cukup jelas bahwa kata itu awalnya merujuk pada pada jenis pengetahuan yang kemungkinan besar adalah pengetahuan agama. Hal inilah yang pada akhirnya kontroversi berkepanjangan, khususnya antara para tradisionalis dan reformis mengenai kemungkinan (atau ketidak mungkinan) mempertemukan Al-Quran dan sains dalam kasus tertentu, dengan berbagai kemungkinan definisinya mulai dari sains sakral hingga “pengetahuan tradisional, sains islam dan (versi teistik) sains barat.
Guessoum menganjurkan untuk  menolak semua posisi ekstrem,  dan menekankan keragaman bacaan dari sebagian besar ayat Al-Quran, yakni pendekatan yang memungkinkan adanya interpretasi cerdas terhadap ayat-ayat Al-Quran dengan berbagai instrumen, termasuk pengetahuan ilmiah. Guessoum berpendapat bahwa pendekatan selaras dengan sikap para sarjana islam yang paling cerdas, mulai dari ibnu rusyd (averroes) hingga muhammad Thalbi.[12] Thalbi mengatakan dalam tulisannya bahwa pembacaan, penafsiran dan perenungan terhadap Al-Quran dalam sains yang dimiliki disni dan  saat itu adalah sebuah taradisi yang berkelanjutan dalam islam. Bahkan setiap pendekatan Al-Quran harus memperhitungkan fakta bahwa dengan terus-menerus membaca tanda-tanda yang bisa diperhatikan, maka pewahyuan  yang terus menerus diungkapkan adalah konkruen  dengan hasil pengamatan terhadap alam semesta. Al-Quran menyuruh kaum muslim untuk mengamati dan membaca. Namun  bagaimana umat islam bisa mengamati dan membaca tanpa sains?[13]
Singkatnya, menurut gusessoum karena Al-Quran tidak dapat diubah menjadi sebuah ensiklopedi apapun, setidak-tidaknya untuk semua ragam sains, maka selalu harus diingat bahwa jika Al-Quran diseriusi dan dikaji sedemikian rupa, prinsip-prinsip Rusydian  tentang ketidakmungkinan adanya konflik (antara firman dan karya tuhan)  harus dijunjung tinggi. Dalam praktiknya, prinsip ini dapat berubah menjadi pendekatan  tanpa penolakan atau tanpa oposisi  ketika seseorang dapat meyakinkan masyarakat  islam mengenai sesuatu gagasan tertentu, bukan dengan membuktikan bahwa teori itu ditemukan  dalam Al-Quran, tetapi dengan menunjukkan bahwa sebuah pembacaan dan interpretasi  cerdas terhadap ayat-ayat tertentu telah menghasikan kesimpulan yang sepenuhnya konsisten dengan teori ilmiah tertentu yang relevan.  
Guessoum menuturkan ada kesalahpahaman masyarakat mengenai sains baik sebagai pengetahuan dasar maupun sebagai metodologi semakin diperparah oleh laporan lain dari masyarakat arab-muslim dan dunia pada umumnya. Oleh sebab itu ia menekankan, bahwa gagasan mengenai falsifiabilitas merupakan konsep paling tajam untuk mendefinisikan dan menggaris bawahi sifat aktivitas ilmiah. Sayangnya, kebanyakan orang awam dalam kalangan terdidik, terutama di kalangan muslim, cenderung menghindari konsep tersebut.[14]
Sains akan selalu memilki efek kuat terhadap pandangan dunia dan keyakinan umum masyarakat. Karena alasan ilmiah sains harus diperlakukan hati-hati dengan makna filosofis; metode-metode dan batasan-batasannya juga harus dipahami dan digambarkan dengan jelas sehingga tidak menimbulkan pandangan teknokratis murni atau pandangan materialistik sederhana terhadap sains.  Sayangnya, ilmuan-ilmuan pada umumnya dan muslim pada khususnya  cenderung tidak menyadari filsafat sains  dan konflik antara keduanya karena memang sangat sedikit universitas yang mewajibkan mahasiswa sains dan teknologi mengambil mata kuliah  filsafat atua sains.

D.      Analisis Ontologi (I’jaz : sains modern dalam Al-Quran?)
Ada beberapa beberapa aliran pemikiran yang dapat diidentifikasi dalam lanskap kebudayaan muslim terkait dengan sains dari aliran yang sangat mistis (aliran Gnostik nasir, pendekatan tradisional dan sakral dalam pengetahuan dan sains) hingga yang sekuler, universalis dan konvensionalis (penekanan salam dan hoodbhoy bahwa sains  bersifat universal dan objektif  serta tidak ada sains islam, sains cina atau sains jepang).
Sains islam ala sardar (mazhab Ijmali)  yang berasumsi bahwa sains islami  bisa menjadi universal meskipun ia terinspirasi dari prinsip-prinsip islam . model aliran ijmali meski hanya berhasil mencapai kemajuan sederhana dengan melampaui prinsip-prinsip umum, dan mengawali rumusan serius terhadap disiplin-disiplin ilmu baru telah membuktikan  beberapa janjinya kendati belum membumi dan konsepnya belum kuat. Bagaimanapun hal ini tidak dapat dianggap remeh dan naif.[15]
Kritik yang mungkin dapat ditunjukkan kepada sardar secara khususnya adalah kritiknya terhadap sains modern, terutama dalam metode kekerasan dan standar tak etis. Sardar  berkali kali menyebut kasus pembedahan makhluk hidup sebagai contoh kekerasan sains modern  dan metode yang amoral. Saking seringnya mengutip contoh ini, sardar tidak memiliki contoh lain guna memperkuat argumennya, disisi contoh lainnya, yakni pernyataannya : “ bagaimana bisa  memerangi kekerasan intrinsik yang begitu tampak dalam pembedahan makhluk hidup dan fisika teoritis eksperimental dalam sains modern ?[16]  dengan kata lain, ia menganggap eksperimen fisika energy tinggi  yang menggunakan berkas-berkas partikel subatom  dalam kecepatan-kecepatan energy tinggi  serta bertabrakan berkas–berkasnya tersebut  dengan  target partikel adalah bukti lain kekerasan modern. Guessoumpun meragukan jika ada fisikawan yang pernah  menyatakan keprihatinan etis eksperimen semacam itu dalam mempelajari berbagai partikel dan interaksi subatom.  Dan meskipun ada yang menilai pembedahan terhadap makhluk hidup sebagai hal yang amoral, dia mengira  pandangan ini minoritas. Guessoum akan mempertanyakan apakah metode pembeddahan dalam biologi  ini bisa dijadikan isu inti yang bercirikan sains modern.
Sardar cenderung berlebihan dalam penilaiannya. Guessoum tidak setuju dengan pandangannya bahwa metode ilmiah jauh dari sikap objektif dan bahwa sebagian besar ilmuan secara tanpa sadar  menyusupkan prasangkanya kedalam penelitian yang mereka lakukan. Akan tetapi guessoum berani mnegatakan bahwa “pengamatan yang bebas-bias itu adalah sebuah mistos”.[17] Guessoum juga tidak menyetujui pandangannya yang mengatakan bahwa ilmuan sering memodifikasi observasinya dengan memasukkan ide-ide dan prasangka, nilai-nilai dan norma-norma masyarakat mereka. Bahkan , bukan hanya observasi yang berpotensi demikian; eksperimentasi juga tidak bisa dilakukan dalam sesuatu kekosongan budaya (cultural Vacum).[18] Sebenarnya efek budaya dapat diminimalkan dengan melakukan eksperimen dan observasi berulang-ulang ditempat dan waktu yang berbeda. Pernyataan sardar berikut juga tidak kalah ekstrem :
Bukanlah kebetulan bahwa sains tidak bisa dilepaskan dari represi dan dominasi. Keduanya merupakan produk langsung dari epistemology rasionalislik, seperti halnya newton, Darwin, freud , Bf Skinner, dan Edward Wilson merupakan anak kandung dari epistemology yang sama,  darwinisme sosial, sosiobiologi dan cadangan senjata nuklir  yang bisa menghancurkan bumi berkali-kali adalah hasil logis dari epistemology rasionalitas instrumental.[19]
Guessoum memahami walau tidak harus setuju dengan kritik sardar mengenai Darwin, freud dan Edward Wilson, tetapi lompatan dari newton  kesenjata nuklir  dan dari Darwin ke darwinisme  sosial benar benar berlebihan. Terlebih lagi menganggap semua kebiadaban  dan dampak buruk teknologi  modern sebagai hasil logis dari epistemology  rasionalitas instrumental adalah hal yang sangat tidak masuk akal.[20]
Sebuah kritik lain terhadap konsepsi aliran ijmali tentang sains adalah bagaimana mereka membayangkan masyarakat bisa mengarahkan sains; bagaimana seetiap warga masyarakat dapat diarahkan untuk bisa berpartisipasi dalam perdebatan tentang sains. Sardar mengatakan “ Sains islam (dibangun) untuk dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada tuhan juga kepada masyarakat.[21] Ia mengupas demokratisasi sains bukan dalam makna bahwa sains bisa diserahkan kepada orang awam yang tidak terlatih, tetapi dalam makna bahwa “ sains dibawa keluar dari laboratorium, dan dibicarakan dalam debat publik sehingga masyarakat dapat ambil bagian dalam dampak sosial dan budaya dari sains.
Pada sisi lainnya, sardar juga sering melontarkan agar konsep ijmali dalam islam diperluas, hak untuk ijtihad (upaya untuk melakukan inovasi pemikiran) diberikan kepada setiap muslim, termasuk kaum awam sekalipun.[22] Guessoum mendukung sepenuhnya untuk membuka pintu ijtihad, tetapi bukan untuk semua orang,. Tidak ada kaum muslim terdidik atau cendikiawan  menyepakati aturan main yang menetapkan bahwa setiap orang memiliki hak (yang sama) dalam perdebatan semacam itu. Ijma’ dalam tradisi islam bisa disepadankan  dengan peer review  dalam tradisi ilmiah, sebab keduanya memiliki fungsi yang sama . pada akhirnya, Guessoum memberikan catatan bahwa semua tentang sains islami itu berasal dari barat.
Dua gagasan besar guessoum dalam bukunya yaitu konsep tuhan dalam islam (dan bagaimana hubungannya dengan sains)  dan posisi serta pengaruh Al-Quran yang merasuk dalam kehidupan dan fikiran umat muslim. Gagasan ini ditunjukkan untuk :[23]
a.     Wacana sains dan agama dikalangan umat muslim cenderung dipenuhi  oleh berbagai referensi ayat Al-Quran.
b.    Penekanan yang berlebihan terhadap ayat ayat Al-Quran dapat menyebabkan distorsi berbahaya dan bergesernya wacana kepada persoaan mu’jizat ilmiah Al-Quran.
c.    Wacana sains dan islam yang rasional dan kredibel bisa diterima dengan baik oleh masyarakat umum maupun elite, makanya dipastikan adaanya penerimaan terhadap Al-Quran jika bujkan keselarasan penuh dengan ide-ide yang dibahas dan menekankan fakta bahwa Al-Quran dapat dibaca dan ditafsirkan secara rasional setidak tidaknya dengan satu diantara pendekatan yang bisa menyajikan sudut pandang yang juga rasional.
Memang diakui bahwa kitab suci berulang-ulang memancing perhatian pembacanya kepada prediksi umum mnegenai fenomena dunia fisik , seperti dalam surat Al-Rahman (55: 5-7) :
لَّهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ ﴿٥﴾ يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ ۚ وَهُوَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿٦﴾ آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ ۖ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَأَنفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ ﴿٧﴾
Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.
Itulah alasan mengapa Al-Quran terus-menerus mendorong manusia untuk mengamati, merenungkan  dan mencari.
Guessoum juga meyampaikan gagasannya bahwa meskipun Al-Quran memuat banyak perintah kepada manusia untuk mengamati dan merefleksikan fenomena  alam dan hubungannya dengan sang pencipta, banyak orang yang masih kesulitan saat menghubungkan konsep sains modern  dengan wacana Qurani. Memang konsep sains dalam pengertian modern tidak bisa ditemukan secara mudah  didalam Al-Quran atau di sebagian besar warisan klasik muslim, sebab konsep pengetahuan sudah berkembang.  Perbedaan yang sebenarnya  tampak subtil ini tidak menjadi bahan kajian bagi sejumlah besar pemikir dan pemerhati muslim; bahkan kata ilmu sekarang  saat ini sering digunakan untuk merujuk sains meskipun cukup jelas kata tersebut pada awalnya lebih bermakna pengetahuan dalam arti yang lebih luas. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan pendapat yang tajam antara kaum tradisionalis dan reformis mengenai kemungkinan melihat kasus-kasus dalam AlQuran dari kaca mata sains dengan berbagai definisi sains yang ada, mulai dari sains yang sakral (scared science) hingga sains islami (Islamic science) dan bahkan I’jaz ilmiah (Science I’jaz).[24]
Meskipun Al-Quran tidak dapat diubah menjadi ensikolopedi apapun, termasuk ensiklopedi semua jenis sains, harus dingat bahwa jika Al-Quran dibaca dan dikaji dengan serius dan penuh hormat, maka resep hermeneutika  dan prinsip rusdian (averroes) mengenai ketidak kemungkinan pertentangan (antara firman dan karya tuhan ) haruslah dijunjung tinggi. Dalam prakteknya prinsip ini dapat diubah menjadi pendekatan tanpa keberatan atau tanpa oposisi yang memungkinkan kita meyakinkan masyarakat muslim mengenai gagasan tertentu bukan dengan membuktikan bahwa teori tersebut dapat ditemukan dalam Al-Quran yang benar-benar konsisten dengan teori tersebut.

E.       Islam dan Kosmologi
Selama era keemasan peradaban islam , Al-Quran menjadi sumber primordial dan referensi untuk berbagai informasi dan doktrin mengenai kosmik. Akan tetapi para pemikir muslim menyadari bahwa Al-Quran terlalu ambigu dan ambivalen untuk membangun teori kosmologi yang rigid. Apalagi ketika itu filsafat helenistik sangat mempengaruhi para pemikir muslim dan telah diserap sedini mungkin (abad ke-9). Akan tetapi alih-alih mengulangi teori-teori yunani kuno, bangunan kosmologi islam justru merupakan lukisan yang kaya perspektif karna menggabungkan pandangan-pandangan budaya lain dengan prinsip-prinsip islam.
Pada abad ke-20, mucul kegiatan pembaharuan ketika kosmologi mulai melekat luas dengan semua agama  (dengan berbagai cara), khususnya dengan dunia islam, dalam budaya yang menempatkan Al-quran sebagai sumber-sumber referensi terpenting tersebut, hasil-hasil  temuan ilmiah hamper selalu dibandingkan dengan teks-teks sakral, sehingga mulai muncul kosmologi  yang cenderung masih amatir, karena secara bebas menggabungkan sains dan teks keagamaan dalam lanskap kebudayaan.
Selanjutnya pada awal millennium ketiga dan setelah revolusi ilmiah modern terjadi, masih bisakah digelar diskusi seputar kosmologi yang terbukti berutang banyak pada ilmu fisika pada perspektif agama dan menyajikan kosmologi islami? Bisakah ada sebuah kosmologi islam, kosmologi yahudi, atau kosmologi hindu, bukankah sains modern telah menutup pintu kekacauan semacam ini?
Sebagaimana yang dipertahankan primack dan Abraham : kosmologi-kosmologi budaya tradisional memang tidak benar secara factual, tetapi kosmologi ini menawarkan petunjuk bagaimana hidup dengan rasa kepemilikan terhadap dunia.[25] demikian pula pembahasan mengenai kosmologi islam mungkin berguna bahkan diperlukan saat ini mengingat krisis indetitas yang tampaknya akan dialami oleh dunia timur, khususnya setelah metodologi barat mendominasi bidang penelitian dan globalisasi budaya.  Para penentang kecenderungan ini mendukung rumusan dari berbagai tokoh tentang adanya budaya mereka sendiri dan bahkan sains mereka sendiri.
Meski demikian, ini bukanlah suatu alasan guessoum membela sudut pandang kosmologis yang sepenuhnya konsisten dengan teori-teori modern dan prinsip-prinsip agama. Bagaimanapun kosmologi dapat berlaku untuk setiap dan semua tradisi agama meski disini guessoum hanya membahas tradisi islam karena merupakan agamanya dan merasa harus memusatkan perhatian terhadap cakupannya yang kaya.
Bagi guessoum, alasan utama mengapa para ilmuan dan filusuf berkabolarasi  pada proyek ambisius  namun kontrovesi  semacam itu adalah karena sains modern tidak mampu menemukan makna dibalik  temuan-temuan yang dihasilkannya. Bsakah seseorang membahas singuilaritas big bang (frasa teknis ini digunakan untuk mengganti istilah penciptaan yang poenuh dengan muatan agama) tanpa membahas makna filosofis dan implikasi-implikasi teologisnya? Bisakah seseorang  membahas sifat hukum-hukum fisika alam semesta lain yang terputus secara kausal dan tidak menggali maknanya? Jelas ada banyak isu yang tidak bsia dipecahkan oleh sains namun justru menjadi bidang tersendiri yang bisa digeluti oleh manusia.[26]
Para ilmuan semakin meyakini bahwa pendekatan ilmiah murni terhadap kosmos tidaklah memuaskan dalam kosmologi modern , alam semesta dianggap harus konsiten secara mandiri dan tidak memerlukan pencipta. Sains modern juga tidak membuka ruang terhadap transendensi atau pemaknaan.
Diluar itu banyak ilmuan sains saja sudah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan alam semesta, kehidupan dan segala sesuatu yang lain. Akan tetapi survey yang dilakukan pada 1997 menunjukkan bahwa sekitar 40% ilmuan amerika percaya pada tuhan, dan 45% tidak, sementara 15% sisanya adalah kaum agnostik.[27] Beberapa ilmuan secara terbuka berpandangan bahwa pendekatan garis keras terhadap alam dan kehidupan harus  melunak agar bisa mencakup pendekatan non-formal, termasuk agama, metafisika dan filsafat yang dapat memperkaya pemahaman manusia mengenai berbagai isu.
Tantangan kemudian adalah bagaimana membangun sebuah teologi yang dapat mengawinkan konsepsi-konsepsi agama Allah (sebagai tuhan personal) dengan sebuah teologi alamiah (natural theology) yang memposisikan tuhan da nasal mula ketertiban kosmos sebagai dasar dibangunnya alam semesta. Yang pasti teologi tidak bisa diterima secara jelas berbenturan atau bertentangan  dengan metode-metode rasional dan hasil –hasil ilmiah.
Meskipun guessoum jauh dari mampu untuk sekadar merumuskan sebuah kosmologi teistik yang utuh dan konsisten. Dia percaya bahwa beberapa sintesis yang kurang lebih setara dengan pandangan beberapa filusuf muslim abad pertengahan.
Untuk membuat sintesis setidak-tidaknya ada perpaduan antara prinsip –prinsip sains modern, guessoum memberikan sebuah program ganda yang harus dilakukan :[28]
a.  Merumuskan beberap teologi baru yang konsisten dengan sains modern meskipun saisn modern sains tidak senada dengan keyakinan-keyakinan dan teks-teks secara literal.
b.  Membangun sebuah kosmologi yang tak terlalu materialistis untuk memu ngkinkan ditemunya beberapa makna dan spirit dalam alam semesta dan keberadaannya.
Alternatif dari pandangan ini adalah konsep neo-sufi yang menganggap Allah  dan alam semesta adalah satu dan bahwa penciptaan berlangsung secara terus menerus karena allah tidak pernah berhenti tajalli (mengungkapkan diri) kepada-Nya tanpa terlihat secara langsung.[29]
Kosmologi islami tidak bisa membatasi diri pada penafsiran ilmiah semu terhadap teks-teks suci. Kosmologi tersebut harus sedikit menyediakan ruang bagi kreativitas dan kebebasan  berfikir dalam kebudayaan islam. Guessoum yakin kebudayaan islam mampu sebagaimana pernah menjadi ribuan tahun yang lalu dan semestinya masih mampu menyerap pengetahuan manusia, sains, dan kemajuan sehingga ia dapat menghasilkan sebuah sintesis menarik yang  bernilai.[30]
Sebuah kosmologi modern islam/teistik yang sepenuhnya kompatibel dengan sains menurut pendapat guessoum sangat mungkin dibangun selama aktor intelektualnya tetap terbuka, kreatif, dan tidak kaku, baik dalam pengetahuan religious maupun saintifiknya.























BAB III
Kesimpulan

1.    Nidhal Guessoum lahir pada tanggal 6 september 1960, beliau adalah seorang guru besar fisika dan astronomi berkebangsaan Aljazair.
2.    Penekanan terhadap posisi penciptaan bukanlah semata-mata  aspek yang dibutuhkan dalam “mendefinisikan” Tuhan, melainkan juga suatu hal yang secara otomatis mencakup sifat-sifat  fundamental lainnya (tidak terbatas, mutlak, maha kuasa, maha tahu dll).
3.    Guessoum berpendapat posisi dan pengaruh Al-Quran luar biasa terhadap kehidupan dan pemikiran umat islam. Oleh sebab itu dia menekankan :
a.       wacana seputar sains dan agama seringkali diwarnai referensi Al-Quran
b.      wacana logis yang berkembang dalam sains dan islam seringkali diterima dengan baik oleh kaum awam dan dan kaum elite, karna Al-Quran mampu myerap ide-ide tersebut jika memang sepenuhnya tidak kompatibel (antara Al-Quran dan sains)
c.       Al-Quran dapat dicapai dengan pendekatan hermeneutik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dan tradisi islam.
4.    Konsep ijmali dalam islam diperluas, hak untuk ijtihad (upaya untuk melakukan inovasi pemikiran) diberikan kepada setiap muslim, termasuk kaum awam sekalipun.Guessoum memberikan catatan bahwa semua tentang sains islami itu berasal dari barat.
5.    Sebuah kosmologi modern islam/teistik yang sepenuhnya kompatibel dengan sains menurut pendapat guessoum sangat mungkin dibangun selama aktor intelektualnya tetap terbuka, kreatif, dan tidak kaku, baik dalam pengetahuan religious maupun saintifiknya





DAFTAR PUSTAKA


Jane Lapman, The Cristian Science Monitor, 9 Juli 1998.
Joel Primack and Nancy Ellen Abrams,  The Viem from the Center of The Universe, (London : Fourt estate, 2006).
Karen Armstrong, A History Of God : The 4.000 Year Quest Of Judaism, Christianity and Islam, (New York : Ballantine Books, 1993).
Muhammad Hasyim Kamali, Islam, Rationality and Science, dalam Islam & Science, Juni 2003.
Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern : Bagaimana Mempertemukan Islam dengan Sains Modern?, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014).
Qomarul Huda, Knowledge of Allah and The Islamic View of other Religion, Theological Studies, 64/2 (jun. 2003).
Sachiko Murata dan William C. Chittick, The Koran, (Paragon House, 1994).
Suha Taji-Farouki, Modern Muslim Intelectual and the Quran, (London : Oxford University Press, 2004).
Ziaduddin Sardar, Explorations in Islamic Science, (London : Mansell, 1989).
--------------, Islamization of Knowledge or Westernization of Islam, Inquiry 7 (1984).
--------------, Thomas Kuhn and the Science Wars (London: Icon Books & Pennsylvania :Totem Books, 2000).

Referensi Internet
https://en.wikipedia.org/wiki/Nidhal_Guessoum : diakses pada tanggal 16 November 2016
http://nidhalguessoum.org/research/ : diakses pada tanggal 16 November 2016




[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Nidhal_Guessoum : diakses pada tanggal 16 November 2016
[3] http://nidhalguessoum.org/research/ : diakses pada tanggal 16 November 2016

[4]  Ibnu rusyd, Fashl al-Maqal, hal 66-67
[5] Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern : Bagaimana Mempertemukan Islam dengan Sains Modern?, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014), hal 18
[6] Sachiko Murata dan William C. Chittick, The Koran, (Paragon House, 1994), pada pendahuluan Vision Of Islam XIV-XIX
[7] Qomarul Huda, Knowledge of Allah and The Islamic View of other Religion, Theological Studies, 64/2 (jun. 2003), hal 278
[8] Nidhal Guessoum, Islam dan Sains Modern : Bagaimana Mempertemukan Islam dengan Sains Modern?, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014), hal 102
[9] Nidhal Guessoum, … hal. 102
[10] Ibid., Nidhal Guessoum, … hal. 128
[11] Muhammad Hasyim Kamali, Islam, Rationality and Science, dalam Islam & Scienc, Juni 2003
[12] Nidhal Guessoum, … hal. 129
[13] Suha Taji-Farouki, Modern Muslim Intelectual and the Quran, (London : Oxford University Press, 2004), hal 231
[14] Nidhal Guessoum, … hal. 183

[15] Nidhal Guessoum, … hal. 243
[16] Ziaduddin Sardar, Explorations in Islamic Science, (London : Mansell, 1989), hal 166
[17] Ibid, Ziaduddin Sardar, Explorations in Islamic Science,…, hal 45
[18] Ziaduddin Sardar, Explorations in Islamic Science,…, hal
[19] Ziaduddin Sardar, Islamization of Knowledge or Westernization of Islam, Inquiry 7 (1984) hal 39-45
[20] Nidhal Guessoum, … hal. 245
[21] Ziaduddin Sardar, Thomas Kuhn and the Science Wars (London: Icon Books & Pennsylvania :Totem Books, 2000), hal 65
[22] Ziaduddin Sardar, Islamization of Knowledge or Westernization of Islam, hal 158
[23] Nidhal Guessoum, … hal. 298
[24] Nidhal Guessoum, … hal. 299
[25] Joel Primack and Nancy Ellen Abrams,  The Viem from the Center of The Universe, (London : Fourt estate, 2006), hal 6
[26] Nidhal Guessoum, … hal. 368
[27] Jane Lapman, The Cristian Science Monitor, 9 Juli 1998.
[28] Nidhal Guessoum, … hal. 370
[29] Nidhal Guessoum, … hal. 370
[30] Ibid, Nidhal Guessoum, … hal. 370

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Saran Anda