REVIEW JURNAL
Judul Jurnal
|
Pemikiran Abdul Karim Soroush tentang Persoalan Otoritas Kebenaran Agama
|
Penulis
|
Badrussyamsi
|
Tahun Terbit
|
September
2015
|
Jumlah
Halaman
|
26 Halaman
|
p-ISSN/e-ISSN
|
1978-3183/2356-2218
|
A. Pengantar
Jurnal ini membahas munculnya
klaim kebenaran pemahaman keagamaan dan bagaimana klaim tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya otoritarianisme pemahaman keagamaan. Tidak
jarang sebuah klaim kebenaran interpretasi
keagamaan mengarahkan sang pemilik interpretasi untuk melakukan tirani atas nama
agama. Bagaimana Soroush menghubungkan pluralitas pemikiran keagamaan dan
perlunya penegakan nilai-nilai demokrasi dalam menghadapi ancaman otoritarianisme keagamaan ini? Bagaimana teori Soroush
yang terkenal yakni the contraction and expansion of religious
interpretation diarahkan untuk
membendung otoritarianisme
dan tirani atas nama agama?
B.
Deskripsi Pembahasan Jurnal
Forough Jahanbakhsh menggarisbawahi pemikiran Soroush ke
dalam lima poin, antara lain: (1) pembedaan agama dan pemikiran keagamaan,
(2) agama itu bersifat ketuhanan, kekal, tahan, dan sakral, (3)
pemahaman keagamaan dan pengetahuan agama tidak sakral, (4) pemahaman
agama dipengaruhi oleh pengetahuan manusia, dan (5) pengetahuan
agama itu berubah-ubah dan terikat waktu.
Bagi Soroush sebagaimana dikutip Valla Vakili, meskipun agama tidak
berubah, akan tetapi pemahaman dan pengetahuan manusia tentang
agama berubah. Pengetahuan agama hanya satu dari sekian cabang
pengetahuan manusia. Ia tidak dituhankan oleh sifat ketuhanan
agama, dan ia tidak boleh dirancukan dengan agama itu sendiri.
Pengetahuan agama dihasilkan oleh para cendekia yang melibatkan
diri dalam pembelajaran inti naskah-naskah Islam yang tidak
akan pernah berubah—al-Qur’ân, hadîth, dan ajaran Imam-imam
Shî‘ah. Para cendekia tersebut menafsirkan naskah-naskah itu secara
berlainan, tergantung dari metode mereka, yang mencakup, misalnya,
dari aturan tata bahasa Arab ke logika inferensial, dari filosofi
Aristoteles ke hermeneutika kontemporer.
Soroush menegaskan bahwa hanya agama yang tidak akan berubah
sedangkan pemahaman agama, penafsiran agama, dan ilmu agama
akan berubah sesuai dengan waktu. Sifat “perubahan” yang tidak
dapat dielakkan oleh pemahaman dan penafsiran agama ini yang diarahkan
Soroush untuk menghalangi lahirnya klaim otoritas kebenaran
di antara pemahaman dan penafsiran agama yang ada. Hanya
agama yang memiliki otoritas kebenaran mutlak, sedangkan pemahaman
dan penafsiran agama tidak memiliki kebenaran mutlak dan
absolut. Soroush menegaskan bahwa di mana pun yang kita hadapi
adalah ilmu agama yang mengamati dan memahami agama, tetapi
itu bukan agama. Ketentuan semacam ini mencakup semua cabang
ilmu pengetahuan manusia.
Penolakan atas klaim otoritas kebenaran oleh sebuah pemahaman dan
penafsiran agama mengarahkan Soroush untuk memperbesar porsi
paradigma pluralisme dalam pemikirannya. Menurut Nacim Pak Shiraz,
dalam memahami Islam Soroush menggunakan pendekatan pluralistik
atas interpretasi atas Islam. Musibah dari adanya klaim otoritas kebenaran
sering digambarkan oleh Soroush sebagai perbudakan agama oleh para penafsir agama. Soroush
mengingatkan kaum Muslim tentang posisinya di hadapan ajaran
Tuhan. Soroush mengingatkan bahwa kaum Muslim siapapun dia -khususnya
para ilmuwan dan pembaru agama- bukanlah
orang yang berhak menentukan maksud Tuhan di dalam
ajarannya. Mereka adalah para pejuang yang hanya berupaya memahami
apa yang dikehendaki Tuhan di dalam al-Qur’ân sehingga ketika
mereka sampai pada suatu pemahaman tertentu, maka tidak kemudian
ia memaksakan pemahaman tersebut pada orang lain ataupun
harus dianut olehnya.
Soroush mengusulkan agar pengetahuan agama dan
keagamaan hendaknya disesuaikan dengan dasar prinsip-prinsip demokrasi
sejauh hal itu terbuka, kritis, umum, dan plural. Hal itu karena
bagi Soroush, konsep kebebasan, demokrasi, dan toleransi mengalir
dari pemahamannya tentang Islam. meskipun agama itu sendiri
sakral, penafsiran atas agama itu tidak sakral, bisa dimodifikasi, bisa
didefinisikan kembali.
Soroush menegaskan bahwa sebuah bentuk
pemahaman dan penafsiran keagamaan tidak dapat dijadikan sebagai
satu-satunya pemahaman dan tafsiran yang paling benar di antara
pemahaman dan tafsiran keagamaan lainnya. Adanya pengakuan
akan pemahaman keagamaan yang otoritatif dapat mengarahkan
pada sikap keagamaan yang otoriter hingga berujung pada
tirani keagamaan. Sikap otoriter yang dilandasi semangat merasa memiliki
kebenaran paling tinggi telah menggoda para ulama untuk menyalahkan
pemahaman keagamaan lain dan bersikap otoriter hingga
pada pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Para pembaru agama atau ilmuwan agama bukanlah orang yang berhak atas itu
sehingga tidak sedikitpun mereka diperkenankan mengambil jubbah kenabian. Mereka harus bersikap terbuka dan bebas atas
segenap pemahaman keagamaan yang lain. Otoritaritarianisme keagamaan lahir
karena adanya pemahaman bahwa para ulama mengklaim bahwa mereka telah diberi
amanah agama oleh Nabi atau Rasul sehingga para ulama ini harus melaksanakan
amanah ini. Jika tidak melaksanakan
amanah tersebut, maka mereka di Hari Kiamat akan memperoleh hukuman yang berat dari
para Nabi.
Permasalahan bukan terletak pada penerimaan amanah keagamaan karena
semua umat memang harus merasa memiliki amanah kenabian untuk
mengajak orang kepada kebajikan. Permasalahannya adalah perasaan
menerima kebenaran sehingga menjadikan sang ulama merasa
memiliki kebenaran paling otoritatif yang diyakini diberikan oleh
Nabi dan sekaligus menganggap paling benar dan menolak pemahaman
dan pemikiran yang lain.
Soroush mempertanyakan penegakan keagamaan
dan kekuasaan para ulama yang diberikan atas mereka. Soroush
yang pada walnya merupakan sekutu dekat kalangan Republik
Islam Iran telah menjadi pengkritik yang terang-terangan. Soroush
mengritik monopoli atas Islam yang dilakukan oleh para ulama.
Dampak negatif kekuasaan agama yang didasarkan pada satu penafsiran
agama tertentu ini yang melahirkan pemerintahan represif. Diamenolak
pemahaman bahwa Islam sebagai ideology politik.
Ideologi keagamaan tidak boleh mengatur negara modern karena
hal itu akan cenderung pada totalitarianisme. Penggunaan ideologi
keagamaan dalam pemerintahan akan menghalangi pertumbuhan
pengetahuan agama.
|
abdul karim soroush |
Ide
Soroush tentang “menyelamatkan Islam dengan memisahkan
ulama dan negara” dipengaruhi oleh teori Weber
mengenai pembedaan antara pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan
dan oleh karenanya tidak menyediakan dasar bagi politik modern.
Dengan mendefinisikan kembali aspek-aspek mistik Ayatullah
Khomeini dan ideologi Ali Syari’ati dalam cara yang jelas ke arah
individu daripada pengalaman karismatik masyarakat, Soroush mencoba
menyebarkan visi reformasi politik yang menginspirasi secara
spiritual dan secara politik rasional. Soroush mendukung penafsiran
rasional atas Kitab Suci yang mengarah pada pemisahan agama
dan negara.
Teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama (the contraction and expansion of religious interpretation) merupakan paradigm yang ditawarkan Soroush
untuk membendung arus otoritarianisme sebuah
penafsiran agama. Teori
ini dipandang dapat menjadi pilar penguat pluralisme dan nilai-nilai demokrasi.
Menurut Soroush, yang terpenting dalam upaya memahami pemikiran keagamaan
manusia adalah keharusan untuk membedakan mana agama sebagai sebuah ajaran
Tuhan dan pemikiran keagamaan manusia sebagai produk manusia dan sebagai
refleksi atas ajaran agama. Dari
pembedaan ini nantinya akan diketahui unsur mana yang sebenarnya
sakral, mutlak kebenarannya dan unsur mana yang profan, tidak
asli dan tidak mutlak kebenarannya.
Ia menerima perlunya merekonsiliasi
perubahan-perubahan dalam dunia modern dengan kebakaan
agama, tetapi dia tidak setuju dengan rekonstruksi atau pembangkitan
kembali Islam. Bagi Soroush, Islam tidak berubah-ubah dan
segala upaya untuk merekonstruksi Islam adalah sia-sia sekaligus sesat.
Agama tidak perlu diubah. Pemahaman orang tentang agamalah yang
perlu diubah. Soroush menegaskan bahwa manusia biasa tidak dapat mewarisi keistimewaan
para Nabi dan Rasul sehingga hasil pemikiran dan pengalaman
keagamaan seseorang tidak dapat dijadikan sebagai landasan
hukum secara mutlak sebagaimana layaknya Nabi. Dia menjelaskan
bahwa teori penyusutan dan pengembangan interpretasi
agama membuka rahasia semua pertanyaan seperti itu.
Teori ini membedakan antara agama dan ilmu agama.
Teori ini menilai ilmu agama sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan
manusia dan menganggap pemahaman kita tentang agama
berevolusi bersama cabang-cabang ilmu pengetahuan manusia lainnya.
Teori Soroush berdampak pada
seluruh hasil rancangan Soroush yakni dunia yang secara a priori bersifat
plural di mana dia menyebutnya “pluralisme negatif” dan secara a
posteriori juga bersifat plural, dan dia menyebutnya “pluralisme positif”. Dengan
konsep ini Soroush sampai pada satu kesimpulan bahwa manusia
dan kaum beriman tidak bisa berharap terlalu banyak pada agama di
mana Soroush menyebutnya sebagai “agama minimalis” melawan
orang “maksimalis”.
Pokok pemahaman teori penyusutan dan
pengembangan interpretasi agama terjadi dengan memahami dua perbedaan utama: pertama,
perbedaan antara ilmu agama dan pemahaman kita tentang ilmu agama dan, kedua,
perbedaan antara pengetahuan pribadi tentang agama dan ilmu agama. Jika seseorang tidak menimbang dua benteng yang besar ini, dia
tidak akan dapat menikmati padang rumput dan cakrawala teologi yang
luas dan terbuka. Teori
penyusutan dan pengembangan interpretasi agama, yang pada dasarnya adalah teori
“interpretasi-epistemologi”, merupakan bagian dari tiga bidang ilmu yang lain
juga: kalâm (teologi Islam), us }ûl al-fiqh (logika
terapan dalam yurisprudensi agama), dan ‘irfân (dimensi esoteris Islam).
Soroush menguraikan bahwa komposisi teorinya
terdiri dari tiga unsur penting dan merupakan disiplin keilmuwan yang utama dalam Islam yakni ilmu kalam atau teologi, ushul
fiqh, dan tasawuf. Meski demikian, visi penting Soroush dalam pemikirannya adalah reformasi. Rancangan Soroush meluncurkan secara mendasar
arah baru dalam teologi dan politik Islam (teologi politik) yang dibangun atas mistisisme
klasik dan teologi rasional (Mu‘tazilah). Abad 20 menunjukkan adanya penyerapan pemikiran teologi Mu‘tazilah di kalangan pemikir Islam rasionalis. Dalam satu penilaian, pengaruh Mu‘tazilah telah memberi
inspirasi signifikan dalam karya penting Soroush.
C. Kesimpulan
Klaim otoritas kebenaran agama lahir karena pemilik pemahaman
keagamaan tidak membangun sebuah
kesadaran bahwa pemahaman keagamaan
mereka hanya merupakan salah satu dari pemahaman keagamaan yang lain dan hal
itu tidak bersifat sakral. Soroush menekankan seharusnya yang memiliki otoritas tertinggi adalah
agama dan
bukan pemahaman keagamaan. Pemahaman keagamaan hanya merupakan ijtihad dari para
mufassir atau pemikir untuk menemukan makna makna dari teks-teks keagamaan. Ideologisasi agama dapat menurunkan nilai kesakralan
dan keilahian agama menjadi bersifat duniawi, manusiawi, dan hilang kesakralannya. Lebih bahaya lagi ideologisasi agama dapat
melahirkan tirani dan otoritarianisme atas nama agama. Kesadaran
pluralitas pemikiran menjadi sangat penting untuk menghindari lahirnya
otoritarianisme pemahaman keagamaan, dan ia dapat menjadi pilar-pilar demokrasi bagi sebuah
pemerintahan
|